Kakekku meninggal pada usia
sekitar tujuh puluhan, ketika aku belum usia sekolah. Aku tidak dapat
mengingatnya, kecuali suasana sekilas saat kakek meninggal.
Pagi ini aku bangun terlambat
dari biasanya. Adzan Subuh menjadi pertanda bahwa pagi sudah datang, dan kami,
seisi rumahku, harus bangun. Dapur sudah
beroperasi, ibuku selalu memulai dengan menanak nasi. Bapak sudah duduk
menyanding susu jahe sembari berbincang dengan ibuku yang sedang memasak. Aku
bergabung setelah solat Subuh.
Entah obrolan apa yang tiba-tiba
menggiring bapakku bercerita tentang kakekku, bapak dari bapakku. Tentang
perjalanan kakekku yang berasal dari Kediri dan sampai di desa Semboro ini.
Jika kakek meninggal saat usiaku sekitar empat tahun dan kakek usia tujuh
puluhan, maka sekitar tahun dua puluhan kakekku lahir. Aku berumur empat tahun
pada 1995, jika kakek meninggal pada usia 71 seperti perkiraan bapak, maka
kakekku lahir sekitaran tahun 1924.
Bapak tidak banyak mengisahkan
saat kakek berada di Kediri, kota tempat kakekku dilahirkan dan dibesarkan.
Bapak tidak tahu banyak tentang kakek saat masih di Kediri, hanya dari
cerita-cerita kakek. Kakek menikah diusia muda, dijodohkan dengan anak
tetangga. Orangtuanya bekerja di PJKA, kakek bekerja sebagai carik, sekretaris
desa. Artinya, hidup kakekku berkecukupan untuk tahun-tahun itu.
Sayangnya, bapak terkenal
sebagai anak yang nakal dikeluarganya. Dianggap sebagai anak yang menghabiskan
harta.
“Tapi kakek nakalnya bukan judi
atau wanita, tapi suka bepergian. Semua harta kakek dijual untuk bepergian, berpetualang
ke kota-kota lain. ” Tegas bapakku.
Bukan hanya petualangan yang menghabiskan hartanya, tapi jiwa petualangnya dipacu saat Jepang datang. Bapak bilang, kakek ikut gerilya. Jika Jepang datang pada tahun 1942, maka kakekku saat itu usia 18.
“Kakek juga angkat senjata waktu
penjajahan Jepang. Dia pernah sembunyi di atas genteng rumah orang,, Jepang di
bawah mencarinya. Kalau dulu tertangkap, mungkin mati.” Lanjut bapak.
Sayang, kakek tidak pernah
bercerita bagaimana dia bisa sampai di desa Semboro dan meninggalkan istrinya.
Masa-masa sulit menempa kakek saat di Semboro.
Bapakku, anak pertama kakek
lahir di Semboro pada tahun 1958. Artinya kakekku datang ke Semboro dan menikah
lagi dengan nenekku yang asli orang Semboro tidak jauh dari tahun itu. Umur
kakek sudah tiga puluhan, dan terpaut jauh dengan umur nenekku.
Ketika kakek dan nenekku
menikah, sesuai budaya mereka harus mengganti nama. Kakekku bernama Kamari dan
nenekku bernama Satimah, setelah menikah mereka memiliki nama Kabir. Pak Kabir
dan bu Kabir. Nama itulah yang akhirnya kami kenal dan kenang, bukan nama asli.
Mbah Kabir lanang dan mbah kabir wedok, kami cucu-cucunya memanggilnya.
“Mbah lanang tidak disukai saudara-saudara
mbah wedok karena dianggap tidak bisa bekerja, tidak bisa apa-apa. Mencangkul
tidak bisa, tukang bangunan tidak bisa.” Bapak menceritakan susahnya kehidupan
kakekku saat memulai hidupnya di Semboro setelah menikah.
“Tapi mbah tetap ikut-ikut ke sawah. Juga ikut jadi kuli. Dulu jadi kuli di Tanggul harus jalan kaki, sepeda itu barang mewah. Yang punya sepeda tidak akan dipinjamkan, yang pinjam juga sungkan, takut rusak.”
“Sebenarnya kakek orang yang
pandai. Dia pandai berbahasa. Pandai juga bahasa Belanda atau Jepang, ya? Dulu
kepala desa Semboro masih minta bantuan kakek kalau mau ukur tanah. Kalau ada
urursan di kantor desa, orang-orang minta bantuan kakek.”
Masa-masa sulit kakekku masih bertahan sampai
bapakku lahir. Tapi, bapak masih beruntung kakekku mengusahakannya untuk
sekolah. Meski tidak mampu mebiayai sekolah bapak, kakek mengantarkan bapak ke
Madiun. Rumah bu lek bapak. Kakek meminta bantuan kakaknya untuk menyekolahkan
bapak ke Sekolah Teknologi yang setara Sekolah Menengah Pertama di jurusan pertukangan.
Kakek mempunyai lima anak.
Kehidupan adik-adik bapakku lebih mudah. Kakekku sudah terbiasa dengan pekerjaannya. Nenek sudah
berdagang sayur di pasar dibantu dengan adik-adik bapak yang perempuan.
Meninggalkan masa lalunya yang
nakal, kakek harus belajar banyak saat kehidupan menempa dirinya. Belajar
menghidupi keluarga, menjadi orang tua, hingga menjadi kakek kami.
Ketika meninggal, kakek tidak
meninggalkan banyak warisan untuk bapak dan anak-anaknya. Kata bapak, orang tua
nenek mempunyai banyak tanah, hanya kakek tidak mau menerima pemberian tanah.
Kakek mewariskan ilmu ST untuk bapak, yang sangat berguna hingga saat ini.
Bapak bekerja sebagai tukang bangunan, sesuai ilmu yang dia dapat di sekolah,
sebagai satu-satunya warisan kakek.
No comments:
Post a Comment