Kalau
bermimpi waktu tidur terus rasanya seperti kenyataan pasti sering, tapi kalau
kenyataan seperti mimpi pernah tidak? Aku pernah. Aku bersama tiga temanku
berangkat dari Jember naik kereta menuju Stasiun Baru Banyuwangi, stasiun
terakhir yang dekat dengan Pelabuhan Ketapang. Saat perjalanan telah berakhir
dan aku terbangun, terasa seperti mimpi.
Sudah
lama aku mempunyai rencana melakukan perjalanan ini, tapi beberapa hari yang
lalu rencana ini kembali dibahas dan langsung dijalankan. Naik kereta dari
Jember ke Banyuwangi lalu menyeberang dari Pelabuhan Ketapang ke Gili Manuk, dan
kemudian pulang. Aku ingin sekali naik kereta, makan pecel Garahan, menyeberang
dengan kapal laut, menikmati suasa berbeda di ujung pulau bali, lalu pulang
membawa rasa capek yang dibayar oleh kepuasaan jalan-jalan. Rencana dijalankan
dan rasanya seperti mimpi yang berlalu semalam.
Bagaimana
tidak seperti mimpi, petualangan sesungguhnya terjadi malam hari tanpa rencana.
Awalnya rencana baik-baik saja, berangkat dari Jember sesuai jadwal kereta,
pukul 15.30 pada hari kamis tanggal 29 bulan Mei yang baru berlalu. Sampai di
stasiun terakhirpun rencana masih baik-baik saja, kami sampai sekitar setengah
delapan malam. Hingga rencana mulai tidak baik-baik saja, berubah haluan.
Kami membeli tiket yang tidak sesuai
rencana. Rencana pulang pagi, tiket ada jam sembilan besok paginya. Acang ingin
sedikit keliling Banyuwangi, akhirnya tiket pukul tiga kurang seperempat jam
kami beli. Setelah tiket terbeli, kami meninggalkan stasiun berjalan kaki
menuju pelabuhan yang tidak jauh.
Perjalanan
selanjutnya juga merubah rencana, kami tidak hanya pindah tempat ngopi tapi berjalan kaki ke Pulaki
Singaraja. Kaki berjalan terasa asing sekali, seperti berada dinegeri seberang
yang jauh dari pulau asal. Padahal hanya beda suasana, beda budaya. Di Jawa
tidak ada bangunan-bangunan tempat persembayangan umat Hindu sebanyak di Bali.
Di Jawa juga tidak ada anjing sebanyak ini, kami berempat semua takut anjing.
Bau-bau dupa khas Bali yang kami sukai, juga intonasi bicara orang Bali.
Ini Bang Korep Fotografer kami |
Aku
memutuskan untuk mengiyakan ke Pulaki karena Bang Korep bilang kalau pendidikan
dan pelatihan dasar SWAPENKA dulu di Pulaki, mereka juga jalan kaki. Apalagi
rasa penasaranku mulai kambuh. Jalanan juga lurus, gunung saja aku kuat
pikirku. Kami mulai jalan, jalan dan jalan tapi yang kami temukan hanya
pertigaan arah ke Singaraja masih puluhan kilometer. Waktu setengah jam lebih
sudah membuat teman-teman menyerah. Aku masih mau melanjutkan, karena rasa
penasaran. Tapi semua sudah merasa capek, dan perjalanan selanjutnya adalah
hutan, ada juga pertimbangan perjalanan pulangnya, aku tidak memaksa
melanjutkan. Pulaki gagal, kami memutuskan kembali.
Malam
yang larut sudah berlalu, pagi datang. Pagi memang masih tampak petang, tapi
hari sudah berganti. Sesekali kami bergantian tertidur ditempat ngopi, kecuali
Bang Korep. Menghilangkan rasa capek dan mencari tempat carger kamera di warung pinggir jalan yang masih buka.
Kami
melawan lelah, karena tujuan kami memang menikmati perjalanan. Kami berencana
melihat sunrise di kapal laut, tapi
kami terlalu capek untuk bangun bersama sunrise.
Kami terlambat mengambil momen, sampai sandarnya kapal yang membangunkan kami.
Perjalanan
semakin tak terencana saat kami putus asa menunggu waktu pulang masih lama.
Kami menuju alun-alun Banyuwangi, menghabiskan waktu di sini. Mulai mengambil
foto-foto sampai bosan, ditegur satpol pp karena Naong tiduran di sini, hingga
bertemu teman yang membawakan kami banyak sekali kue. Hari semakin panas, kami
semakin lelah, panas, perjalanan sudah sulit dinikmati, bad mood. Saat-saat seperti inilah kita bisa membaca karakter teman
perjalananmu dan karaktermu sendiri. Seberapa mampu kita mengatasinya. Hanya
Acang dan Bang Korep yang tetap menjaga kenikmatan perjalanan, aku dan Naong
sudah menyerah.
“Katanya
Ke Pantai.” Kataku.
Akhirnya
kami menuju pantai Boom, yang jaraknya begitu dekat alun-alun meski ditempuh dengan
jalan kaki. Kami menghabiskan sedikit waktu siang di sini. Sampai akhirnya Bang
Korep membawa kami ke tempat saudaranya di daerah sekitar pantai Boom. Aku dan
Naong senang sekali bertemu kamar mandi. Cewek memang tidak bisa flexible, kenyamanan dari keringat,
debu, dan bau sangat mempengaruhi. Terbukti mood
kami saat pulang kembali baik setelah mandi.
Jika
kaki kami bisa bicara, pasti dia minta ampun. Kami pulang. Kereta Probowangi
memang lebih cepat dari pada Pandanwangi, harga tidak pernah berbohong.
Probowangi 18.000 sedangkan Pandanwangi hanya 4.000. Kami sampai kembali di
Jember menjelang magrib. Kami kembali ke habitat masing-masing. Aku ikut Naong
pulang ke kosannya, tempat tidurku selama aku tidak betah di kosan baru.
Kami
tidur nyenyak sekali. Bali memang terkenal bagus di dunia manca, tapi tetap
kota kami yang menjadi tempat paling nyaman untuk kembali pulang. Ada rasa
capek yang diistirahatkan memang menjadi nikmat. Saat pagi kembali membangunkan
kami, perjalanan yang dilakukan seperti mimpi kami akibat tidur semalam,
semuanya berjalan begitu cepat.
puhh gak ajak2 lak dolaaan.. :D
ReplyDeletehahaha ayo maneh mas
Delete