Thursday, June 5, 2014

Seperti Mimpi Ke Bali




  
Kalau bermimpi waktu tidur terus rasanya seperti kenyataan pasti sering, tapi kalau kenyataan seperti mimpi pernah tidak? Aku pernah. Aku bersama tiga temanku berangkat dari Jember naik kereta menuju Stasiun Baru Banyuwangi, stasiun terakhir yang dekat dengan Pelabuhan Ketapang. Saat perjalanan telah berakhir dan aku terbangun, terasa seperti mimpi.
Sudah lama aku mempunyai rencana melakukan perjalanan ini, tapi beberapa hari yang lalu rencana ini kembali dibahas dan langsung dijalankan. Naik kereta dari Jember ke Banyuwangi lalu menyeberang dari Pelabuhan Ketapang ke Gili Manuk, dan kemudian pulang. Aku ingin sekali naik kereta, makan pecel Garahan, menyeberang dengan kapal laut, menikmati suasa berbeda di ujung pulau bali, lalu pulang membawa rasa capek yang dibayar oleh kepuasaan jalan-jalan. Rencana dijalankan dan rasanya seperti mimpi yang berlalu semalam.

Bagaimana tidak seperti mimpi, petualangan sesungguhnya terjadi malam hari tanpa rencana. Awalnya rencana baik-baik saja, berangkat dari Jember sesuai jadwal kereta, pukul 15.30 pada hari kamis tanggal 29 bulan Mei yang baru berlalu. Sampai di stasiun terakhirpun rencana masih baik-baik saja, kami sampai sekitar setengah delapan malam. Hingga rencana mulai tidak baik-baik saja, berubah haluan.
            Kami membeli tiket yang tidak sesuai rencana. Rencana pulang pagi, tiket ada jam sembilan besok paginya. Acang ingin sedikit keliling Banyuwangi, akhirnya tiket pukul tiga kurang seperempat jam kami beli. Setelah tiket terbeli, kami meninggalkan stasiun berjalan kaki menuju pelabuhan yang tidak jauh.
Perjalanan selanjutnya juga merubah rencana, kami tidak hanya pindah tempat ngopi tapi berjalan kaki ke Pulaki Singaraja. Kaki berjalan terasa asing sekali, seperti berada dinegeri seberang yang jauh dari pulau asal. Padahal hanya beda suasana, beda budaya. Di Jawa tidak ada bangunan-bangunan tempat persembayangan umat Hindu sebanyak di Bali. Di Jawa juga tidak ada anjing sebanyak ini, kami berempat semua takut anjing. Bau-bau dupa khas Bali yang kami sukai, juga intonasi bicara orang Bali.
Ini Bang Korep Fotografer kami
Aku memutuskan untuk mengiyakan ke Pulaki karena Bang Korep bilang kalau pendidikan dan pelatihan dasar SWAPENKA dulu di Pulaki, mereka juga jalan kaki. Apalagi rasa penasaranku mulai kambuh. Jalanan juga lurus, gunung saja aku kuat pikirku. Kami mulai jalan, jalan dan jalan tapi yang kami temukan hanya pertigaan arah ke Singaraja masih puluhan kilometer. Waktu setengah jam lebih sudah membuat teman-teman menyerah. Aku masih mau melanjutkan, karena rasa penasaran. Tapi semua sudah merasa capek, dan perjalanan selanjutnya adalah hutan, ada juga pertimbangan perjalanan pulangnya, aku tidak memaksa melanjutkan. Pulaki gagal, kami memutuskan kembali.
Malam yang larut sudah berlalu, pagi datang. Pagi memang masih tampak petang, tapi hari sudah berganti. Sesekali kami bergantian tertidur ditempat ngopi, kecuali Bang Korep. Menghilangkan rasa capek dan mencari tempat carger kamera di warung pinggir jalan yang masih buka.
Kami melawan lelah, karena tujuan kami memang menikmati perjalanan. Kami berencana melihat sunrise di kapal laut, tapi kami terlalu capek untuk bangun bersama sunrise. Kami terlambat mengambil momen, sampai sandarnya kapal yang membangunkan kami.
Perjalanan semakin tak terencana saat kami putus asa menunggu waktu pulang masih lama. Kami menuju alun-alun Banyuwangi, menghabiskan waktu di sini. Mulai mengambil foto-foto sampai bosan, ditegur satpol pp karena Naong tiduran di sini, hingga bertemu teman yang membawakan kami banyak sekali kue. Hari semakin panas, kami semakin lelah, panas, perjalanan sudah sulit dinikmati, bad mood. Saat-saat seperti inilah kita bisa membaca karakter teman perjalananmu dan karaktermu sendiri. Seberapa mampu kita mengatasinya. Hanya Acang dan Bang Korep yang tetap menjaga kenikmatan perjalanan, aku dan Naong sudah menyerah.
“Katanya Ke Pantai.” Kataku.
Akhirnya kami menuju pantai Boom, yang jaraknya begitu dekat alun-alun meski ditempuh dengan jalan kaki. Kami menghabiskan sedikit waktu siang di sini. Sampai akhirnya Bang Korep membawa kami ke tempat saudaranya di daerah sekitar pantai Boom. Aku dan Naong senang sekali bertemu kamar mandi. Cewek memang tidak bisa flexible, kenyamanan dari keringat, debu, dan bau sangat mempengaruhi. Terbukti mood kami saat pulang kembali baik setelah mandi.
Jika kaki kami bisa bicara, pasti dia minta ampun. Kami pulang. Kereta Probowangi memang lebih cepat dari pada Pandanwangi, harga tidak pernah berbohong. Probowangi 18.000 sedangkan Pandanwangi hanya 4.000. Kami sampai kembali di Jember menjelang magrib. Kami kembali ke habitat masing-masing. Aku ikut Naong pulang ke kosannya, tempat tidurku selama aku tidak betah di kosan baru.

Kami tidur nyenyak sekali. Bali memang terkenal bagus di dunia manca, tapi tetap kota kami yang menjadi tempat paling nyaman untuk kembali pulang. Ada rasa capek yang diistirahatkan memang menjadi nikmat. Saat pagi kembali membangunkan kami, perjalanan yang dilakukan seperti mimpi kami akibat tidur semalam, semuanya berjalan begitu cepat.

2 comments: