Sunday, July 14, 2019

Sekolah Favorit di Kaki Gunung

Bulan Juli di kota, anak-anak sibuk mempersiapkan diri untuk masuk di sekolah baru setelah ribut dengan sistem zonasi. Di sebuah kaki gunung pegunungan Argopuro wiayah Jember, tepatnya Jelbuk, Panduman, Sumber Candik, sedang musim ‘monduk’, mondok, sekolah pesantren. Yang tidak melanjutkan ke smp atau pesanteren, akan ada pilihan ‘bekalan’, bakalan, tunangan.
Hari Pertama Anak-anak Kaki Gunung Sekolah


Hari Senin ini, hari pertama anak-anak masuk sekolah. Keributan anak-anak kota yang pintar secara akademik dan orangtuanya tentang zonasi wilayah sekolah sudah mereda.  Setiap kebijakan baru selalu menimbulkan pro dan kontra, juga sistem zonasi. Ada yang mengatakan sistem zonasi tidak adil untuk anak-anak yang pandai tapi tidak bisa mengakses sekolah favorit. Ada yang mengatakan sistem zonasi justru sistem yang adil, karena semua bisa mengakses sekolah favorit. Sebentar lagi, ketika sekolah sudah mulai aktif proses belajar mengajarnya, sekolah bertugas membuat semua murid menjadi favorit, memenuhi kebutuhan setiap murid, karena setiap murid berkebutuhan khusus bahkan yang tampak cerdas dan baik-baik saja.

Kalau kamu naik sedikit dari kota Jember ke sebuah wilayah di kaki gunung, Sumber Candik, kamu akan menemukan sistem zonasi sudah ada sejak sekolah didirikan. Di sini pilihannya bukan sekolah favorit, tapi sekolah atau tidak.  Hanya ada dua sekolah setara sd terdekat, SDN Panduman 3 dan MI An Nur Gading. Keduanya ditempuh dengan jalan yang terjal dan setengah jam lebih jika berjalan kaki. Di musim hujan, musim hajatan, dan musim panenan, anak-anak atau gurunya boleh tidak datang. Bersepatu juga bukan bagian dari kewajiban.

Mari kita kunjungi SDN Panduman 3 yang hanya mempunyai 3 ruang kelas. Sekolah ini sudah menyesuaikan diri dengan sangat baik di lingkungan tempatnya didirikan. Anak-anak masuk sekolah sedikit lebih siang dari sekolah di Jember pada umumnya yang dimulai jam tujuh pagi. Anak-anak yang tidak diantar sepeda motor, berduyun-duyun berjalan kaki sambil bercanda dan makan jajanan. Coba perhatikan alas kaki mereka, hampir semuanya bersandal. Perhatikan juga seragamnya, anak-anak boleh memakai seragam merah putih di hari Sabtu atau pramuka di hari Selasa. Karena hujan di kaki gunung bisa turun di musim apa saja, dan jalanan setelah hujan akan becek cukup lama. Sepatu bisa mempersulit anak-anak, bayangkan bagaimana tidak nyamannya bersepatu yang basah setelah terkena hujan. Juga seragam yang terkena hujan dan terciprat kotoran pada hujan kemarin. Jika kamu hari Jumat ada di sini, kamu akan melihat anak-anak tidak sekolah karena hari yang pendek dan anak laki-laki takut terlambat pergi ke masjid. Bahkan salah satu gurunya pernah mengatakan, bahwa anak-anak akan jarang yang pergi ke sekolah ketika masa panen tiba. Anak-anak memilih membantu orang tua mereka. Konsekuensinya, ada anak-anak yang belum lancar membaca bahkan ketika mereka sudah duduk di kelas enam.

Tapi apa yang perlu terlalu diributkan jika artinya anak-anak yang membantu orangtuanya adalah proses belajar mereka pada orangtuanya. Bukankah sekolah pertama adalah rumah, orangtua? 

'Aleles' memulung buah kopi yang jatuh ke tanah ketika proses pemetikan. Tugas ini yang biasa anak-anak ambil ketika panen raya kopi tiba. Anak laki-laki yang sudah bisa bersepeda motor, akan memilih untuk ikut mengangkut karung-karung biji kopi dari kebun. Anak yang pandai menulis dan berhitung, mendapat tugas tambahan mencatat dan menghitung hasil timbangan karung-karung kopi sebelum diserahkan kepada tengkulak. Jadi, tidak ada anak-anak yang gagap pada lingkungannya.

Itu ketika panen raya, lain hari-hari biasa ketika liburan atau sepulang sekolah, anak-anak akan membantu mencari rumput dan kayu. Seperti Wahyu, gadis kecil yang hampir dua tahun di kelas satu, masih terseok-seok membaca dan menulis. Di rumah, dia lihai dalam memegang sabit karena sering ikut ibunya mencari rumput.

“Wahyu sakti!” Begitu kata anak-anak.

Tahun ini Wahyu, salah satu murid SDN Panduman 3 loncat kelas. Dari kelas satu langsung ke kelas tiga. Bukan karena ada akselerasi. Di sekolah ini, kelas dihitung sesuai umur. Ada anak yang tinggal kelas di kelas satu hingga tiga tahun karena umurnya belum cukup untuk naik ke kelas dua. Kalau kamu anak sini, menikah ketika kelas empat dan berhenti sekolah, lalu cerai usia kelas enam, kamu boleh kembali datang ke sekolah dan langsung duduk di kelas enam.

“Anak-anak Sumber Candik lebih pandai membaca huruf Arab,” Kata salah satu guru MI.

Orang-orang Sumber Candik memang banyak yang masih buta aksara. Tempat ini memang menyumbang jumlah buta aksara kota Jember. Seperti yang kita ketahui, bahwa Jember menjadi salah satu kota dengan buta aksara tertinggi di Indonesia. Tapi perlu diingat, orang-orang buta aksara latin, bukan aksara Arab, Al quran.

Satu yayasan dan lokasi dengan MI, ada MTS jika anak-anak ingin melanjutkan sekolah formal. Tahun kemarin, hanya ada satu anak dari sini yang melanjutkan ke MTS. Tahun ini, semua anak yang memilih melanjutkan, pergi ke pondok pesantren salaf. Pondok pesantren yang anak-anak pilih atau dipilihkan orangtua juga tidak terlalu jauh, masih dalam kota, hanya tinggal turun gunung.

Pilihan lain selain melanjutkan ke pondok, adalah 'bekalan' atau tunangan. Ikatan bekalan, artinya hubungan atas restu dan pengawasan orangtua. Tapi yang namanya bakal, bakal jadi atau bakal gagal. Syaratnya bukan lulusan sekolah favorit, tapi anak laki-laki yang sudah dianggap mampu berkebun dan anak perempuan yang sudah mendapat menstruasi.

No comments:

Post a Comment