Pertengahan tahun ini setelah cuti hamil, aku bersama suami kembali mengajar
ke Sokola Kaki Gunung. Kami juga membawa serta kedua anak kami ke kaki
pegunungan Argopuro bagian Sumber Candik, Desa Panduman, Kecamatan Jelbuk,
Jember, tempat Sokola Kaki Gunung didirikan.
Bulan Juli artinya kenaikan kelas atau kelulusan bagi anak-anak yang
sekolah di sekolah formal selain belajar bersama kami. Aku mendapati anak-anak
yang lulus sekolah dasar sedang sibuk menyiapkan diri untuk melanjutkan ke
pesantren. Sedang beberapa yang lain, memilih atau dipilihkan untuk bertunangan.
Tunangan adalah tahapan sebelum menikah, saling bertemunya dua keluarga
dari kedua belah pihak yang bertunangan. Tapi adakalanya karena sifat dan
tujuan pertunangan memungkinkan dua orang yang bertunangan ini intens bertemu dan lebih saling mengenal, maka
agar mereka leluasa, keluarga langsung membawa pada kyai atau pemuka agama yang
kemudian bertindak sebagai penghulu dan menikahkan secara sirri agar terhindar zina, dan ketika tiba waktu yang dimaksud pernikahan
adalah pesta perniakahan berupa resepsi, dan atau ada kalanya membawa penghulu resmi dari KUA untuk datang
kerumah dan menikahkan lagi, agar memiliki dokumen syah (Surat Nikah).
“Itu Nur, kan ya?” Tanyaku
kepada salah satu anak ketika melihat wajah gadis yang tidak asing sedang lewat
berboncengan dengan lelaki. Nur, salah satu anak yang pernah belajar bersama
kami di Sokola Kaki Gunung. Tahun lalu dia lulus sekolah dan bertunangan. Lalu
anak-anak yang lain bergosip kalau Nur hamil padahal belum menikah. Menikah
yang dimaksud anak-anak ketika ijab beserta perayaannya. Nur tetap tidak
melakukan married by accident karena Nur
bertunangan sekaligus ijab nikah siri.
“Iya, itu anaknya meninggal, Mbak!”
Jawab anak-anak. Berita yang sampai ditelingaku, Nur melahirkan premature.
Belum cukup umur, kata orang-orang di sini menyebut kehamilan Nur. Yang
menyebabkan bayinya meninggal dalam usia hitungan hari setelah dilahirkan.
Di sini memang anak-anak menikah
di usia dini, sedini usia sekolah dasar, bisa sepuluh tahun, bisa ketika anak
perempuan baru mendapatkan menstruasi, melewatkan masa remaja. Ketika mendengar
praktek menikah dini, pasti pikiranmu dan pikiranku hampir sama, ngeri.
Membayangkan bagaimana psikologi dan alat reproduksi mereka.
Gambaran menikah dini di kota
katanya berhasil digambarkan oleh film Dua Garis Biru yang sedang tayang di
bioskop. Karena posisiku ada di gunung yang jauh bioskop, atau kalaupun memaksa
turun tetap tidak akan bisa menonton dengan membawa dua anak yang bisa menangis
dan minta keluar ditengah film sedang diputar, mengganggu penonton lainnya.
Akhirnya aku hanya membaca resensi dan menonton konten-konten artikel yang membahas
film ini.
Film ini menggambarkan fenomena
remaja di kota yang menikah dini karena 'kecelakaan'. Film ini juga memberikan
edukasi seks untuk anak-anak remaja. Dimana ketika kamu pacaran, berduaan, lalu
berhubungan badan tanpa pengaman, maka kamu bisa telat datang bulan dan hamil.
Jika kamu atau pacarmu hamil ketika kalian masih sekolah dan tanpa menikah,
akan timbul banyak masalah. Malu itu jelas, lalu keluarga yang ikut menanggung
malu akan marah kepadamu. Keluarga yang marah dan tetangga yang begosip akan
berlalu dengan berlalunya waktu, tapi tanggung jawab menjadi suami istri dan
orangtua harus terus ditanggung. Masalah psikologi pasangan menikah dini di
film Dua Garis Biru ditampakkan ketika Bima ingin menggugurkan kandungan Dara,
bayangan kehilangan masa depan, juga ketika adegan Dara melihat Bima bermain
game merasa Bima tidak memikirkan masa depan mereka, sedangkan Bima yang merasa
harus sekolah dan bekerja untuk menghidupi Dara yang hamil dan hanya diam di
rumah menggugat bahwa dia juga butuh istirahat, toh mereka melakukan bukan karena paksaan dari Bima tapi karena
suka sama suka. Resiko fisiologis ketika hamil diusia dini digambarkan ketika Dara mengalami pendarahan dan rahimnya harus diangkat.
Di Sumber Candik, pernikahan
dini tidak dipandang sebagai masalah oleh warganya. Hampir semuanya menikah
dini dan atau menikah muda. Banyak sekali kejadian seperti Nur, bayi meninggal
tidak lama setelah dilahirkan. Orang-orang tidak tahu kenapa negara memberi
batasan usia menikah. Belum tahu bahwa alat repoduksi akan siap pada usia
sekitar umur delapan belas. Orang-orang mempercayai bayi yang lahir dianggap
rejeki, kalau meninggal artinya belum rejeki.
Di sini orang yang telah menjadi
orangtua akan dipanggil dengan nama anak pertama. Banyak sekali orang yang nama
panggilannya tidak sesuai dengan nama anak pertama. Seperti pak Mat, padahal
anaknya pertamanya bernama Wahid. Pak Ro, padahal anak tertuanya bernama Babun.
Mat dan Ro adalah bayi pertama mereka yang sudah meninggal, namanya tetap
menjadi nama panggilan. Dan banyak lagi yang seperti pak Ro dan pak Mat lainnya
di sini.
Jika pernikahan dini dianggap
juga menyebabkan rentan perceraian, itu bisa jadi. Pernikahan dini membuat terlewatkannya
masa remaja, lalu justru seakan-akan keremajaan datang malah ketika hidupnya
sudah mapan berkeluarga, beranak, dan berkebun luas. Orang-orang yang menikah
lebih dari satu kali itu ada, dan perceraian itu biasa, beberapa dari mereka tidak
sungkan menyebutkan bahwa dirinya pernah menikah beberapa kali. Bahkan ada yang
bertunangan dan menikah siri bercerai dan berganti pasangan hingga lima kali.
Tapi tingkat perceraian prosentasenya
mungkin lebih rendah daripada di kota, meskipun orang-orang kota menikah dengan usia matang tapi tetap saja
terjadi banyak kasus perceraian karena beragam hal.
Secara
tanggung jawab orang-orang di Sumber Candik berbeda dengan orang-orang kota.
Anak-anak kota tanggung jawabnya hanya sekolah setiap hari. Laki-laki Sumber
Candik sudah sejak kecil tak hanya belajar, mereka memiliki tugas mencari
rumput untuk pakan, ikut andil bertanggung jawab kepada hewan ternak mereka. Anak-anak lebih belajar banyak dari kegiatan keseharian daripada sekolah formal. Besar sedikit,
anak-anak sudah belajar mengolah lahan. Anak-anak perempuan juga ikut mencari
kayu dan rumput, juga urusan dapur. Jarang sekali orang Sumber candik pergi ke
luar daerahnya, sehingga setelah lulus bayangan masa depannya bukan seperti
anak kota. Bayangan mereka sederhana, menikah dan berkebun. Sehingga menikah
dini itu pilihan wajar ada di Sumber Candik.
Tentang tanggung jawab merawat
anak, jangan ditanya. Anak-anak sejak kecil sudah terbiasa dengan menjaga
adik-adik mereka atau bahkan anak-anak tetangga. Orangtua yang telah menjadi
kakek dan nenek juga tidak lepas tangan dalam pengasuhan cucunya. Bahkan para
tetangga dan kerabat di sekitar rumah, mereka adalah orang-orang yang tidak
diragukan lagi keikutsertaannya merawat setiap anak kecil di sekitarnya.
Ketika kami hidup bersama
komunitas ini, kami sempat gelisah dengan pernikahan dini di sini. Dan
kegelisahan harus segera diatasi, dengan berpikir bahwa ini bukan tentang setuju
atau tidak setuju dengan pernikahan dini.
“Mas, Sinta tunangan.” Kataku
kepada suami. Sinta salah satu murid Sokola Kaki Gunung yang baru lulus sekolah
dasar di SDN Panduman 3, sd terdekat.
“Sayang sekali ya, Mas. Sinta
kan pandai sekali.” Lanjutku. Yang ini sepertinya bercampur soal pribadi,
merasa kehilangan.
“Berarti yang diedukasi bukan
hanya anak-anak, tapi orangtuanya juga.” Jawab suamiku.
Walaupun sebenarnya ketika memutuskan anaknya agar bertunangan atau
menikah, orangtua di Sumber Candik tidak melepaskan anak-anak mereka begitu
saja. Mereka menyediakan kebun dan tetap campur tangan urusan rumah tangga
anaknya, dalam arti mendampingi proses pembelajaran anak-anak mereka dalam menjadi
suami atau istri, hingga mendampingi
langsung belajar bagaimana merawat anak.
Sebenarnya untuk konteks Sumber
Candik resiko terbesar budaya pernikahan dini ini tampak dari yang digambarkan
tadi, yaitu banyaknya orangtua menyandang nama anak pertama yang sudah tiada
sebagai namanya. Kandungan pada usia anak-anak yang menikah dini tidak kuat.
Itu akan membahayakan calon bayi dan ibunya. Suamiku sering sekali mengatakan
kepada orangtua anak-anak bahwa menikah dini berbahaya jika anak-anak segera
hamil setelah menikah.
No comments:
Post a Comment