Wednesday, July 24, 2019

Pernikahan Dini Di Kaki Gunung


Pertengahan tahun ini setelah cuti hamil, aku bersama suami kembali mengajar ke Sokola Kaki Gunung. Kami juga membawa serta kedua anak kami ke kaki pegunungan Argopuro bagian Sumber Candik, Desa Panduman, Kecamatan Jelbuk, Jember, tempat Sokola Kaki Gunung didirikan.

Bulan Juli artinya kenaikan kelas atau kelulusan bagi anak-anak yang sekolah di sekolah formal selain belajar bersama kami. Aku mendapati anak-anak yang lulus sekolah dasar sedang sibuk menyiapkan diri untuk melanjutkan ke pesantren. Sedang beberapa yang lain, memilih atau dipilihkan untuk bertunangan.


Tunangan adalah tahapan sebelum menikah, saling bertemunya dua keluarga dari kedua belah pihak yang bertunangan. Tapi adakalanya karena sifat dan tujuan pertunangan memungkinkan dua orang yang bertunangan ini  intens bertemu dan lebih saling mengenal, maka agar mereka leluasa, keluarga langsung membawa pada kyai atau pemuka agama yang kemudian bertindak sebagai penghulu dan menikahkan secara sirri agar terhindar zina, dan ketika tiba waktu yang dimaksud pernikahan adalah pesta perniakahan berupa resepsi, dan atau ada kalanya  membawa penghulu resmi dari KUA untuk datang kerumah dan menikahkan lagi, agar memiliki dokumen syah (Surat Nikah).

“Itu Nur, kan ya?” Tanyaku kepada salah satu anak ketika melihat wajah gadis yang tidak asing sedang lewat berboncengan dengan lelaki. Nur, salah satu anak yang pernah belajar bersama kami di Sokola Kaki Gunung. Tahun lalu dia lulus sekolah dan bertunangan. Lalu anak-anak yang lain bergosip kalau Nur hamil padahal belum menikah. Menikah yang dimaksud anak-anak ketika ijab beserta perayaannya. Nur tetap tidak melakukan married by accident karena Nur bertunangan sekaligus ijab nikah siri.  

“Iya, itu anaknya meninggal, Mbak!” Jawab anak-anak. Berita yang sampai ditelingaku, Nur melahirkan premature. Belum cukup umur, kata orang-orang di sini menyebut kehamilan Nur. Yang menyebabkan bayinya meninggal dalam usia hitungan hari setelah dilahirkan.

Di sini memang anak-anak menikah di usia dini, sedini usia sekolah dasar, bisa sepuluh tahun, bisa ketika anak perempuan baru mendapatkan menstruasi, melewatkan masa remaja. Ketika mendengar praktek menikah dini, pasti pikiranmu dan pikiranku hampir sama, ngeri. Membayangkan bagaimana psikologi dan alat reproduksi mereka.

 Gambaran menikah dini di kota katanya berhasil digambarkan oleh film Dua Garis Biru yang sedang tayang di bioskop. Karena posisiku ada di gunung yang jauh bioskop, atau kalaupun memaksa turun tetap tidak akan bisa menonton dengan membawa dua anak yang bisa menangis dan minta keluar ditengah film sedang diputar, mengganggu penonton lainnya. Akhirnya aku hanya membaca resensi dan menonton konten-konten artikel yang membahas film ini.

Film ini  menggambarkan fenomena remaja di kota yang menikah dini karena 'kecelakaan'. Film ini juga memberikan edukasi seks untuk anak-anak remaja. Dimana ketika kamu pacaran, berduaan, lalu berhubungan badan tanpa pengaman, maka kamu bisa telat datang bulan dan hamil. Jika kamu atau pacarmu hamil ketika kalian masih sekolah dan tanpa menikah, akan timbul banyak masalah. Malu itu jelas, lalu keluarga yang ikut menanggung malu akan marah kepadamu. Keluarga yang marah dan tetangga yang begosip akan berlalu dengan berlalunya waktu, tapi tanggung jawab menjadi suami istri dan orangtua harus terus ditanggung. Masalah psikologi pasangan menikah dini di film Dua Garis Biru ditampakkan ketika Bima ingin menggugurkan kandungan Dara, bayangan kehilangan masa depan, juga ketika adegan Dara melihat Bima bermain game merasa Bima tidak memikirkan masa depan mereka, sedangkan Bima yang merasa harus sekolah dan bekerja untuk menghidupi Dara yang hamil dan hanya diam di rumah menggugat bahwa dia juga butuh istirahat, toh mereka melakukan bukan karena paksaan dari Bima tapi karena suka sama suka. Resiko fisiologis ketika hamil diusia dini digambarkan ketika Dara mengalami pendarahan dan rahimnya harus diangkat.

Di Sumber Candik, pernikahan dini tidak dipandang sebagai masalah oleh warganya. Hampir semuanya menikah dini dan atau menikah muda. Banyak sekali kejadian seperti Nur, bayi meninggal tidak lama setelah dilahirkan. Orang-orang tidak tahu kenapa negara memberi batasan usia menikah. Belum tahu bahwa alat repoduksi akan siap pada usia sekitar umur delapan belas. Orang-orang mempercayai bayi yang lahir dianggap rejeki, kalau meninggal artinya belum rejeki.

Di sini orang yang telah menjadi orangtua akan dipanggil dengan nama anak pertama. Banyak sekali orang yang nama panggilannya tidak sesuai dengan nama anak pertama. Seperti pak Mat, padahal anaknya pertamanya bernama Wahid. Pak Ro, padahal anak tertuanya bernama Babun. Mat dan Ro adalah bayi pertama mereka yang sudah meninggal, namanya tetap menjadi nama panggilan. Dan banyak lagi yang seperti pak Ro dan pak Mat lainnya di sini.

Jika pernikahan dini dianggap juga menyebabkan rentan perceraian, itu bisa jadi. Pernikahan dini membuat terlewatkannya masa remaja, lalu justru seakan-akan keremajaan datang malah ketika hidupnya sudah mapan berkeluarga, beranak, dan berkebun luas. Orang-orang yang menikah lebih dari satu kali itu ada, dan perceraian itu biasa, beberapa dari mereka tidak sungkan menyebutkan bahwa dirinya pernah menikah beberapa kali. Bahkan ada yang bertunangan dan menikah siri bercerai dan berganti pasangan hingga lima kali. Tapi tingkat perceraian  prosentasenya mungkin lebih rendah daripada di kota, meskipun orang-orang kota  menikah dengan usia matang tapi tetap saja terjadi banyak kasus perceraian karena beragam hal.

Secara tanggung jawab orang-orang di Sumber Candik berbeda dengan orang-orang kota. Anak-anak kota tanggung jawabnya hanya sekolah setiap hari. Laki-laki Sumber Candik sudah sejak kecil tak hanya belajar, mereka memiliki tugas mencari rumput untuk pakan, ikut andil bertanggung jawab kepada hewan ternak mereka.  Anak-anak lebih belajar banyak dari kegiatan keseharian daripada sekolah formal. Besar sedikit, anak-anak sudah belajar mengolah lahan. Anak-anak perempuan juga ikut mencari kayu dan rumput, juga urusan dapur. Jarang sekali orang Sumber candik pergi ke luar daerahnya, sehingga setelah lulus bayangan masa depannya bukan seperti anak kota. Bayangan mereka sederhana, menikah dan berkebun. Sehingga menikah dini itu pilihan wajar ada di Sumber Candik.

Tentang tanggung jawab merawat anak, jangan ditanya. Anak-anak sejak kecil sudah terbiasa dengan menjaga adik-adik mereka atau bahkan anak-anak tetangga. Orangtua yang telah menjadi kakek dan nenek juga tidak lepas tangan dalam pengasuhan cucunya. Bahkan para tetangga dan kerabat di sekitar rumah, mereka adalah orang-orang yang tidak diragukan lagi keikutsertaannya merawat setiap anak kecil di sekitarnya.

Ketika kami hidup bersama komunitas ini, kami sempat gelisah dengan pernikahan dini di sini. Dan kegelisahan harus segera diatasi, dengan berpikir bahwa ini bukan tentang setuju atau tidak setuju dengan pernikahan dini.

“Mas, Sinta tunangan.” Kataku kepada suami. Sinta salah satu murid Sokola Kaki Gunung yang baru lulus sekolah dasar di SDN Panduman 3, sd terdekat.

“Sayang sekali ya, Mas. Sinta kan pandai sekali.” Lanjutku. Yang ini sepertinya bercampur soal pribadi, merasa kehilangan.

  “Berarti yang diedukasi bukan hanya anak-anak, tapi orangtuanya juga.” Jawab suamiku.

Walaupun sebenarnya ketika memutuskan anaknya agar bertunangan atau menikah, orangtua di Sumber Candik tidak melepaskan anak-anak mereka begitu saja. Mereka menyediakan kebun dan tetap campur tangan urusan rumah tangga anaknya, dalam arti mendampingi proses pembelajaran anak-anak mereka dalam menjadi suami atau istri, hingga  mendampingi langsung belajar bagaimana merawat anak.

Sebenarnya untuk konteks Sumber Candik resiko terbesar budaya pernikahan dini ini tampak dari yang digambarkan tadi, yaitu banyaknya orangtua menyandang nama anak pertama yang sudah tiada sebagai namanya. Kandungan pada usia anak-anak yang menikah dini tidak kuat. Itu akan membahayakan calon bayi dan ibunya. Suamiku sering sekali mengatakan kepada orangtua anak-anak bahwa menikah dini berbahaya jika anak-anak segera hamil setelah menikah. 

No comments:

Post a Comment