Thursday, April 2, 2020

Noam Anakku, Autis


Oktober 2019 lalu, di ulang tahun ke dua Noam, aku dan suamiku membawanya ke psikolog anak. Dengan penuh kekhawatiran, dan kecurigaan bahwa Noam autis.

“Noam! Noam! Noam! Hai! Lihat! Itu apa ya? Noam!” Seperti inilah biasanya aku mencari perhatian Noam ketika dia sedang asyik bermain sendiri.

Naom tidak merespon, bahkan ketika sebuah benda aku  bawa kepadanya. Dia tetap lari-lari atau asyik memainkan roda mobil-mobilannya.  Aku menelan ludah, merasa ada persamaan ciri-ciri autis yang aku baca dari berbagai artikel.

Yayasan MPATI (Masyarakat Peduli Autis Indonesia) yang diketuai Gayatri Pamoedji, ibu dari seorang anak autis, memberikan tujuh pertanyaan untuk mengetes autis, “1. Apakah anak Anda memiliki ketertarikan pada anak-anak lain?, 2. Apakah anak Anda menunjuk hal yang disukai?, 3. Apakah anak Anda mau menatap mata Anda lebih dari 1-2 detik?, 4. Apakah anak Anda mau meniru ucapan, ekspresi wajah, ataupun gerak-gerik Anda?, 5. Apakah anak Anda bereaksi ketika namanya dipanggil?, 6. Apakah anak Anda mau melihat ke arah benda yang Anda tunjuk?, 7. Apakah anak Anda pernah bermain pura-pura, misalnya pura-pura menyuapi boneka, atau menerima telepon?” Untuk Noam, hampir semua pertanyaan, jawabannya adalah ‘tidak’.

Dengan penuh keingintahuan dan kepastian, kami mendatangi dua tempat terapi anak autis untuk melakukan assesment ke psikolog. Agar kami tahu kalau Noam berkembang dengan baik atau Noam perlu mendapatkan penanganan segera. Psikolog anak dan psikolog klinis yang kami datangi memvonis Noam autis.
Aku dan Noam

Suamiku menangis, tahu betapa kompleksnya autis ini. Autis, ASD (Autism Spectrum Disorder) atau dalam bahasa Indonesia GSA (Gangguan Spektrum Autisme), mudahnya adalah keterlambatan perkembangan anak. Tapi sebenarnya anak autis mengalami masalah yang kompleks sekali dalam perkembangannya, bahkan ketika anak didiagnosa hanya spektrum ringan. Kata spektrum bukan hanya menunjukkan ringan atau seberapa berat autis pada seorang anak. Di Instagram Wellness Indonesia, mereka menggambarkan lebih detail. Mereka menggambar lingkaran dimana ada warna-warna yang menunjukkan gangguan-gangguan pada anak autis. Pada anak autis yang satu dengan anak autis yang lain, penggambaran lingkarannya menunjukkan bagian-bagian yang terisi penuh hingga kosong sangat berbeda. “My autism looks like this, my brother’s probably looks like this.” Bahkan pada dua saudara kandung autis, mereka memiliki symptoms, ciri, yang berbeda.







Aku mudah sekali menerima vonis ini. Pikirku, keresahan kami terjawab. Kami sudah tahu penyebab keterlambatan perkembangan Noam, lalu kami bisa segera melakukan sesuatu untuknya, tentu untuk mengejar perkembangannya. Tapi ternyata tetap kadang tidak mudah menjalaninya. Penerimaan kadang naik turun. Hingga seringkali aku takut menyebut kata ‘autis’ sampai tidak ingin menyebutnya. Aku jadi tahu rasanya menjadi penyihir-penyihir di Hogwarts yang ketakutan menyebut nama Lord Veldomort sehingga mereka memakai kata ‘Kau-Tahu-Siapa’ ketika membicarakannya.

Beberapa hari yang lalu, aku mengajak Noam jalan-jalan. Jalan-jalan tanpa alas kaki memang disarankan terapis, untuk taktilnya. Noam seperti biasanya, mengoceh tanpa kosa kata berarti. Aku mengamatinya lekat-lekat, Noam mengoceh sambil melihat kesembarang arah. Penerimaanku atas Noam autis, kabur lagi. Aku kembali terkenang ketika Noam baru lahir hingga belajar berjalan. Noam tampak sehat. Dia bisa mengoceh, imitasi gerakan, dan fokus. Lalu kami sadari Noam mengalami kemunduran perkembangan ketika anak seumurannya mulai bisa bicara diumur satu tahun setengah. Dia kehilangan fokus, ocehan, dan tidak bisa imitasi. Aku kembali bertanya kepada Tuhan, kenapa Noam harus autis?

Tapi perasaan seperti itu tidak akan lama, aku akan segera melupakannya dan hari kembali seperti biasa. Alasan apalagi yang harus ku buat-buat untuk menyalahkan keadaan? Tidak ada, tidak boleh ada.

Perjalanan Noam mengejar perkembangannya baru dimulai. 

Noam terapi di RAND (Rumah Anak Berkebutuhan Khusus Nanda Delhisa) di Bondowoso sejak Desember 2019 lalu. Perjalanan dengan sepeda motor hanya sekitar empat puluh lima menit dari kantor Sokola Kaki Gunung di Arjasa, Jember. Di halaman depan RAND, ada ucapan selamat datang dan tulisan tiga langkah sukses; 1. Intervensi Terapis, 2. Kerjasama Orangtua, 3. Diet Sehat.

Noam sudah mendapatkan ketiganya. Noam mendapatkan intervensi terapis. Setiap kali menyerahkan Noam kepada terapis, rasanya seperti mengantar Noam sekolah. Noam harus belajar dengan orang lain, selain dengan kami orangtuanya. Noam akan mendapat sentuhan yang berbeda dengan orang-orang yang ada dalam bidangnya. Gayatri dalam bukunya 200 Pertanyaan dan Jawaban Seputar Autisme, seringkali menekankan penanganan dini. Anak autis yang mendapat penanganan dini, penanganan di bawah lima tahun, akan lebih mudah. Noam beruntung memiliki Bopo yang sempat belajar psikologi di Universitas Muhammadiyah Jember, yang akhirnya peka dengan kondisi Noam dan mendapatkan penanganan dini.

Sebagai orangtua, sebagai ibu khususnya, aku merasa harus bekerjasama untuk Noam. Andilku, diatas terapi yang kami lakukan di rumah, adalah kesabaran penuh untuk menghadapi ketika Noam tantrum dan hati nelangsa. Kalau tidak, aku harus menerapi diriku sendiri dari penyesalan. Syukurlah Boponya Noam menjadi partner yang hebat, yang mengambil alih menangani Noam ketika sabarku tidak stabil. Selain kami orangtua Noam, yang harus bekerjasama adalah Jebbing, adiknya Noam yang berumur empat belas bulan. Adik perempuan yang memiliki resiko lebih sedikit untuk ikut menjadi autis, meskipun juga membuat kami cukup khawatir. Jebbing menjadi teman terapi Noam di rumah, selain teman berebut mainan. Selain terapi, Jebbing otomatis mendapat menu diet seperti Noam. Kecuali Noam sedang tidur, Jebbing bisa mendapat es krim atau susu.

Noam diet dengan ketat. Kami menjaga makanannya dari gluten, kasein, gula, dan fenol tinggi. Anak autis secara fisik juga mengalami berbagai masalah, seperti pencernaan, sel-sel dalam tubuh yang tidak semuanya bekerja dengan baik, gangguan saraf, hingga bermasalah dengan detox pada tubuh, dan berbagai masalah lain. Pencernaan Noam sangat sensitif. Jika salah makan, Noam bisa diare. Kalau tidak diare, moodnya bisa buruk. Diare dan mood buruk minimal akan berjalan sampai tiga hari. Karena masalah fisiknya, anak autis disarankan juga terapi nutrisi bukan hanya terapi prilaku. Kalau kamu menghubungi penjual nutrisi-nutrisi dalam bentuk kemasan, kamu akan mendapat penjelasan bahwa nutrisi dalam makanan saja tidak cukup karena harus mengalami proses dimasak sebelum dimakan. Dan menurut kami, Noam memang butuh nutrisi tambahan selain dari makanan. Dibeberapa tempat terapi, mereka menyediakan makanan dan nutrisi untuk anak-anak autis.

Tulisan ini ku buat ketika wabah Corona, covid 19 sedang mewabah diberbagai negara, termasuk Indonesia. Di Indonesia per 1 April 2020 dari data detik news, positif corona 1.677, sembuh 103, dan meninggal 157. Autis, meskipun tidak menular, juga dianggap wabah karena setiap tahun data anak autis semakin meningkat. Tirto menuliskan, “CDC, lembaga pencegahan dan penyebaran wabah Amerika Serikat, pada 2012 melaporkan, satu dari 88 anak di AS menyandang autisme.”

Penyebab yang diduga seperti gen, pola asuh, pencemaran, radiasi, pestisida, dan salah satu jenis imunisasi, tidak ada penelitian yang bisa memastikan kebenarannya. Kami dan mungkin banyak orang tua lain, seringkali merasa bersalah karena anak kami autis, apakah ada perbuatan kami yang menyebabkannya? Tapi sebagai orangtua, tidak bisa berlarut dengan mencari penyebab autis dan menenggelamkan diri pada rasa bersalah. Noam dan anak-anak autis lain harus segera mendapat penanganan.

Ketika Noam pertama didiagnosa dan belum mendapat penanganan, kami mendapat saran dari psikolog anak agar Noam segera mendapat penangan tanpa banyak orang yang tahu. Kami setuju. Kami diam-diam berusaha mengejar perkembangan Noam. Tapi ini tidak berhasil, kami butuh orang-orang disekitar kami untuk ikut andil menjaga diet Noam. Kemudian kami menghubungi orang-orang terdekat kami yang pasti peduli. Baru akhir-akhir ini kami cerita kepada teman-teman kami yang berkunjung ke rumah. Dan akhirnya ke media sosial. Agar kita aware, care, dan tahu apa yang harus dilakukan jika ada anak di lingkungan kita dengan ciri-ciri autis.

Happy World Autism Awareness Day!

1 comment: