Oktober 2019 lalu,
di ulang tahun ke dua Noam, aku dan suamiku membawanya ke psikolog anak. Dengan
penuh kekhawatiran, dan kecurigaan bahwa Noam autis.
“Noam! Noam!
Noam! Hai! Lihat! Itu apa ya? Noam!” Seperti inilah biasanya aku mencari
perhatian Noam ketika dia sedang asyik bermain sendiri.
Naom tidak
merespon, bahkan ketika sebuah benda aku
bawa kepadanya. Dia tetap lari-lari atau asyik memainkan roda
mobil-mobilannya. Aku menelan ludah, merasa
ada persamaan ciri-ciri autis yang aku baca dari berbagai artikel.
Yayasan MPATI
(Masyarakat Peduli Autis Indonesia) yang diketuai Gayatri Pamoedji, ibu dari
seorang anak autis, memberikan tujuh pertanyaan untuk mengetes autis, “1.
Apakah anak Anda memiliki ketertarikan pada anak-anak lain?, 2. Apakah anak
Anda menunjuk hal yang disukai?, 3. Apakah anak Anda mau menatap mata Anda
lebih dari 1-2 detik?, 4. Apakah anak Anda mau meniru ucapan, ekspresi wajah,
ataupun gerak-gerik Anda?, 5. Apakah anak Anda bereaksi ketika namanya
dipanggil?, 6. Apakah anak Anda mau melihat ke arah benda yang Anda tunjuk?, 7.
Apakah anak Anda pernah bermain pura-pura, misalnya pura-pura menyuapi boneka,
atau menerima telepon?” Untuk Noam, hampir semua pertanyaan, jawabannya adalah ‘tidak’.
Dengan penuh
keingintahuan dan kepastian, kami mendatangi dua tempat terapi anak autis untuk
melakukan assesment ke psikolog. Agar kami tahu kalau Noam berkembang dengan
baik atau Noam perlu mendapatkan penanganan segera. Psikolog anak dan psikolog
klinis yang kami datangi memvonis Noam autis.
Aku dan Noam |
Suamiku
menangis, tahu betapa kompleksnya autis ini. Autis, ASD (Autism Spectrum
Disorder) atau dalam bahasa Indonesia GSA (Gangguan Spektrum Autisme), mudahnya
adalah keterlambatan perkembangan anak. Tapi sebenarnya anak autis mengalami
masalah yang kompleks sekali dalam perkembangannya, bahkan ketika anak didiagnosa
hanya spektrum ringan. Kata spektrum bukan hanya menunjukkan ringan atau seberapa
berat autis pada seorang anak. Di Instagram Wellness Indonesia, mereka
menggambarkan lebih detail. Mereka menggambar lingkaran dimana ada warna-warna
yang menunjukkan gangguan-gangguan pada anak autis. Pada anak autis yang satu
dengan anak autis yang lain, penggambaran lingkarannya menunjukkan
bagian-bagian yang terisi penuh hingga kosong sangat berbeda. “My autism looks
like this, my brother’s probably looks like this.” Bahkan pada dua saudara
kandung autis, mereka memiliki symptoms, ciri, yang berbeda.
Aku mudah sekali
menerima vonis ini. Pikirku, keresahan kami terjawab. Kami sudah tahu penyebab
keterlambatan perkembangan Noam, lalu kami bisa segera melakukan sesuatu
untuknya, tentu untuk mengejar perkembangannya. Tapi ternyata tetap kadang
tidak mudah menjalaninya. Penerimaan kadang naik turun. Hingga seringkali aku
takut menyebut kata ‘autis’ sampai tidak ingin menyebutnya. Aku jadi tahu
rasanya menjadi penyihir-penyihir di Hogwarts yang ketakutan menyebut nama Lord
Veldomort sehingga mereka memakai kata ‘Kau-Tahu-Siapa’ ketika membicarakannya.
Beberapa hari
yang lalu, aku mengajak Noam jalan-jalan. Jalan-jalan tanpa alas kaki memang
disarankan terapis, untuk taktilnya. Noam seperti biasanya, mengoceh tanpa kosa
kata berarti. Aku mengamatinya lekat-lekat, Noam mengoceh sambil melihat
kesembarang arah. Penerimaanku atas Noam autis, kabur lagi. Aku kembali
terkenang ketika Noam baru lahir hingga belajar berjalan. Noam tampak sehat. Dia
bisa mengoceh, imitasi gerakan, dan fokus. Lalu kami sadari Noam mengalami
kemunduran perkembangan ketika anak seumurannya mulai bisa bicara diumur satu
tahun setengah. Dia kehilangan fokus, ocehan, dan tidak bisa imitasi. Aku
kembali bertanya kepada Tuhan, kenapa Noam harus autis?
Tapi perasaan
seperti itu tidak akan lama, aku akan segera melupakannya dan hari kembali
seperti biasa. Alasan apalagi yang harus ku buat-buat untuk menyalahkan
keadaan? Tidak ada, tidak boleh ada.
Perjalanan Noam
mengejar perkembangannya baru dimulai.
Noam terapi di RAND
(Rumah Anak Berkebutuhan Khusus Nanda Delhisa) di Bondowoso sejak Desember 2019
lalu. Perjalanan dengan sepeda motor hanya sekitar empat puluh lima menit dari
kantor Sokola Kaki Gunung di Arjasa, Jember. Di halaman depan RAND, ada ucapan
selamat datang dan tulisan tiga langkah sukses; 1. Intervensi Terapis, 2.
Kerjasama Orangtua, 3. Diet Sehat.
Noam sudah
mendapatkan ketiganya. Noam mendapatkan intervensi terapis. Setiap kali
menyerahkan Noam kepada terapis, rasanya seperti mengantar Noam sekolah. Noam
harus belajar dengan orang lain, selain dengan kami orangtuanya. Noam akan
mendapat sentuhan yang berbeda dengan orang-orang yang ada dalam bidangnya.
Gayatri dalam bukunya 200 Pertanyaan dan Jawaban Seputar Autisme, seringkali
menekankan penanganan dini. Anak autis yang mendapat penanganan dini,
penanganan di bawah lima tahun, akan lebih mudah. Noam beruntung memiliki Bopo
yang sempat belajar psikologi di Universitas Muhammadiyah Jember, yang akhirnya
peka dengan kondisi Noam dan mendapatkan penanganan dini.
Sebagai orangtua,
sebagai ibu khususnya, aku merasa harus bekerjasama untuk Noam. Andilku, diatas
terapi yang kami lakukan di rumah, adalah kesabaran penuh untuk menghadapi
ketika Noam tantrum dan hati nelangsa. Kalau tidak, aku harus menerapi diriku
sendiri dari penyesalan. Syukurlah Boponya Noam menjadi partner yang hebat,
yang mengambil alih menangani Noam ketika sabarku tidak stabil. Selain kami
orangtua Noam, yang harus bekerjasama adalah Jebbing, adiknya Noam yang berumur
empat belas bulan. Adik perempuan yang memiliki resiko lebih sedikit untuk ikut
menjadi autis, meskipun juga membuat kami cukup khawatir. Jebbing menjadi teman
terapi Noam di rumah, selain teman berebut mainan. Selain terapi, Jebbing
otomatis mendapat menu diet seperti Noam. Kecuali Noam sedang tidur, Jebbing
bisa mendapat es krim atau susu.
Noam diet dengan
ketat. Kami menjaga makanannya dari gluten, kasein, gula, dan fenol tinggi. Anak
autis secara fisik juga mengalami berbagai masalah, seperti pencernaan, sel-sel
dalam tubuh yang tidak semuanya bekerja dengan baik, gangguan saraf, hingga
bermasalah dengan detox pada tubuh, dan berbagai masalah lain. Pencernaan Noam
sangat sensitif. Jika salah makan, Noam bisa diare. Kalau tidak diare, moodnya
bisa buruk. Diare dan mood buruk minimal akan berjalan sampai tiga hari. Karena
masalah fisiknya, anak autis disarankan juga terapi nutrisi bukan hanya terapi
prilaku. Kalau kamu menghubungi penjual nutrisi-nutrisi dalam bentuk kemasan,
kamu akan mendapat penjelasan bahwa nutrisi dalam makanan saja tidak cukup karena
harus mengalami proses dimasak sebelum dimakan. Dan menurut kami, Noam memang
butuh nutrisi tambahan selain dari makanan. Dibeberapa tempat terapi, mereka
menyediakan makanan dan nutrisi untuk anak-anak autis.
Tulisan ini ku
buat ketika wabah Corona, covid 19 sedang mewabah diberbagai negara, termasuk
Indonesia. Di Indonesia per 1 April 2020 dari data detik news, positif corona 1.677, sembuh 103, dan meninggal 157. Autis,
meskipun tidak menular, juga dianggap wabah karena setiap tahun data anak
autis semakin meningkat. Tirto
menuliskan, “CDC, lembaga pencegahan dan penyebaran wabah Amerika Serikat, pada 2012 melaporkan, satu dari 88
anak di AS menyandang autisme.”
Penyebab yang
diduga seperti gen, pola asuh, pencemaran, radiasi, pestisida, dan salah satu
jenis imunisasi, tidak ada penelitian yang bisa memastikan kebenarannya. Kami
dan mungkin banyak orang tua lain, seringkali merasa bersalah karena anak kami
autis, apakah ada perbuatan kami yang menyebabkannya? Tapi sebagai orangtua,
tidak bisa berlarut dengan mencari penyebab autis dan menenggelamkan diri pada rasa
bersalah. Noam dan anak-anak autis lain harus segera mendapat penanganan.
Ketika Noam
pertama didiagnosa dan belum mendapat penanganan, kami mendapat saran dari
psikolog anak agar Noam segera mendapat penangan tanpa banyak orang yang tahu. Kami
setuju. Kami diam-diam berusaha mengejar perkembangan Noam. Tapi ini tidak
berhasil, kami butuh orang-orang disekitar kami untuk ikut andil menjaga diet
Noam. Kemudian kami menghubungi orang-orang terdekat kami yang pasti peduli. Baru
akhir-akhir ini kami cerita kepada teman-teman kami yang berkunjung ke rumah. Dan
akhirnya ke media sosial. Agar kita aware, care, dan tahu apa yang harus dilakukan jika ada anak di lingkungan
kita dengan ciri-ciri autis.
Happy World Autism Awareness Day!
Happy World Autism Awareness Day!
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete