Sunday, August 11, 2013

Karena Aku Bangkit

Dunia malam berjalan begitu singkat, ya... itu yang membuatku harus mampu menikmatinya. Cahaya-cahaya yang menyilaukan mata, jarak pandang yang terbatas dan garis-garis cahaya yang berkelok membuat permainan perasaan sebagai panca indra terkuat saat malam tiba. Suara angin menjadi nyanyiam alam yang berdendang dalam hati. Kedamaian malam memang begitu singkat, sekejap saja mataku tertutup maka aku akan kehilangan kedamaian ini.

Kedamaianku karena edelweisku yang selalu menemaniku menikmati malam. Edelweis yang selalu duduk disampingku, menyatukan kedua telapak tangan kami untuk saling memberi kehangatan. Edelweis yang selalu menceritakan keindahan cahaya malam untukku, saat semua kabur dari balik kaca mataku. Edelweis yang selalu memaksaku tersenyum saat air mata siap menjatuhkan semua harapan. Edelweis yang selalu meyakinkan aku untuk berkata, "karena aku Bangkit."

"Karena kau Bangkit." Hanya kalimat ini yang menjadi jawaban edelweisku ketika aku mempertanyakan pendapatnya. Kalimat yang datang saat pertama kali malam menjadi kabur dari pandanganku, pertama kali malam mempermainkan perasaanku. 
***
 

"Aku melihat cahaya malam ini terlalu berlebihan." Aku mencoba menyembunyikan keadaanku. Edelweis tersenyum, aku kira aku tidak  akan mampu melihat senyum itu lagi. Saat itu aku yakin dia tidak tahu sesuatu yang aku sembunyikan.

"Karena kau Bangkit." Balas Edelweis dengan mengeluarkan  sebuah kaca mata. Perlahan dia menutup mataku dengan kedua telapa k tangannya yang lembut dan wangi khasnya. Dalam mata tertutup, aku mampu merasakan dia meletakkan kaca mata itu dimataku. Edelweis meniupku, sebagai tanda memintaku membuka mata. Perlahan pandanganku hampir kembali seperti semula. 

"Saat pandanganmu mulai kabur, masih ada kacamata yang siap mengembalikan pandanganmu." Lanjut Edelweis menegaskan.

"Karena aku Bangkit." Lanjutku meykinkan Edelwis bahwa aku lelaki yang selalu kuat untuknya.

Edelweis tersenyum manis dibalik kacamataku, "Jika suatu hari mulutmu berhenti mengucap, ada tangan yang masih mampu menulis semua keinginanmu."

"Karena aku Bangkit." Sahutku.

"Tapi jika aku kehilangan semuanya?" Tanyaku kembali ragu.

"Aku akan ada menjadi matamu, bibirmu dan tanganmu. karena kau harus tetap menjadi Bangkit." Edelweis menutup malam itu.
***

"Malam telah memudar Bangkit." Edelweis menyadarkanku dari bayangan malam itu. Seperti yang ku katakan malam memang begitu singkat, terasa sangat singkat saat fajar telah datang.

"Pejamkan matamu!" Pintaku kepada Edelweis. Kami selalu menyambut fajar, menyambut kehangatan. Biar kami menjadi nokturnal yang mengubah dingin malam sebagai kedamaian, tapi kami tak pernah melewatkan kehangatan fajar.

Matahari selalu kembali hadir lagi meski malam selalu mengusir saat senja tiba. Segelap apapun malam, matahari mampu memudarkannya jika fajar telah tiba. Gelap malam itu singkat, sesingkat semua yang mampu menjatuhkan. Karena malam, aku mampu berkata, "Karena aku Bangkit."




No comments:

Post a Comment