Puncak Raung |
Seperti
perjalanan pertama, untuk memulai bercerita dengan tulisan cukup sulit harus
memulainya dari mana. Aku tahu yang membuatnya sulit, rasa takut dan malas. Harus
menghapus rasa takut dan malas untuk mendapati cerita dan pucak.
Perjalanan
pertamaku dimulai saat langit sudah benar gelap, meninggalkan Desa Sumber
Waringin, desa terakhir di lereng Gunung Raung. Ya, aku dan tiga abangku dalam
pendakian Gunung Raung. Gunung Raung terletak di dua kabupaten, Kabupaten
Bondowoso dan Banyuwangi. Kami mengambil rute Bondowoso. Alasannya klasik,
lebih dekat dengan kota kami, Jember.
Kami
disambut dengan jalan bebatuan, jalan makadam. Hari yang sudah gelap membuatku
tidak memberi perhatian pada jalan ini. Hanya kaki yang beberapa kali
tersandung atau terpeleset kecil. Tapi buatku ini bukan masalah. Berbeda dengan
abangku yang pernah beberapa kali ke sini. Namanya Bang Korep, dia benci jalan
makadam. Kakinya tidak bisa berpijak dengan pasti, mungkin itu penyebabnya.
Pijakan seperti ini cukup lama, karena makadam masih panjang di depan.
Kami
masih di pertengahan makadam. Abangku yang lain memutuskan istirahat, kami
memanggilnya Lek. Dia tidak bisa tanpa rokok. Cara menikmati hidup setiap orang memang berbeda. Ada yang tidur dengan boneka, ada yang suka sekali mencium bulu kucing, ada yang tidak bisa bernyanyi tanpa ganja, dan banyak cara untuk meikmati hidup. Meski kadang cara menikmati harus bertentangan dengan ladang yang sedang dihuni belalang. Kami juga sedang menikmati hidup duduk di pinggiran jalan berbatu ini, meski yang lain sedang tidur di atas kasur yang empuk.
Aku lupa rasanya capek yang aku rasakan saat itu, sepertinya kakiku tidak merasakan capek. Aku yakin abang-abangku juga belum capek, hanya sekedar ingin menikmati sebatang atau berbatang-batang rokok. Kami duduk berjajar di pinggiran jalan.Saat yang lain menikmati rokok, aku menikmati bintang saja. Menyelonjorkan kaki, menyandarkan badan pada tas yang menjadi beban pundak saat berjalan, memandang ke langit mengintip yang mencuri perhatian. Damai.
Aku lupa rasanya capek yang aku rasakan saat itu, sepertinya kakiku tidak merasakan capek. Aku yakin abang-abangku juga belum capek, hanya sekedar ingin menikmati sebatang atau berbatang-batang rokok. Kami duduk berjajar di pinggiran jalan.Saat yang lain menikmati rokok, aku menikmati bintang saja. Menyelonjorkan kaki, menyandarkan badan pada tas yang menjadi beban pundak saat berjalan, memandang ke langit mengintip yang mencuri perhatian. Damai.
“Kenapa
kita naik gunung ya Tan? Sudah capek, tidur di rumah lebih enak. Pulang ayo
Tan!” Tiba-tiba canda Lek merusak kedamaian.
“Nggak
mau.” Jawabku.
Aku
diam, pikiranku bermain dengan canda Lek. Obrolan abang-abangku seperti
tercampur dengan suara angin. Aku tidak bisa mendengar obrolan mereka dalam
permainan ini. Untuk apa aku naik gunung? Kalau aku jawab sekarang, jawabanku hanya
karena ajakan teman. Kalau hanya ini jawabannya, benar kata Lek, kenapa aku
tidak tidur saja di rumah. Apalagi aku takut gelap. Di sini tidak ada lampu.
Kenapa aku tidak mengiyakan canda Lek? Kenapa psikologi alam bebasku malah melawan
rasa takut. Di sini gelap, dingin, kotor dan capek.
Udara
mulai dingin, suhu tubuh tidak sehangat saat berjalan. Aku semakin tidak
konsentrasi dalam canda Lek yang mempermainkanku. Permainan belum selesai
dipikiranku, kami sudah mulai kembali berjalan.
Perjalanan
tidak mungkin dilakukan tanpa tujuan, pikirku. Aku naik gunung memang hanya
karena ajakan teman, tanpa memikirkan untuk apa naik gunung. Bukankah sebuah
pendakian gunung tujuannya adalah puncak. Pemandangan yang bagus, bahkan ada
yang menyebutnya negeri atas awan adalah iming-iming saat pendakian. Tanpa
tujuan, rasa capek dalam sebuah perjalanan tidak akan terbayar.
Malam
bertambah larut. Kami memutuskan bermalam di pondok motor. Pondok di sini bukan
bangunan, tapi tanah datar untuk mendirikan tenda. Perjalanan pada malam hari
sangat berbahaya. Bukan hanya pandangan yang terbatas, tapi bahaya binatang
nokturnal dan harus berebut oksigen dengan tumbuhan.
***
Malam
berlalu begitu saja. Api unggun segera menjadi abu. Jaket tidak pernah lepas,
meski matahari dengan sinar hangatnya mulai menampakkan diri.
Aku
tidak bisa membuang kebiasaan dipagi hari, sikat gigi.
“Kamu
ngapain Tan?” Tanya Lek dari dalam tenda.
Mulutku
masih penuh busa, aku tidak bisa menjawab sempurna.
“Si
Rotan gosok gigi Lek.” Sahut abangku, Mas Beringin.
“Kalau
airnya habis, nanti gigimu Tan yang kita sesepin.” Tambah Lek mengejek.
Abang-abangku
tertawa. Aku bingung. Apa ada yang salah dengan yang aku lakukan?
“Di
sini nggak ada air, jadi harus hemat.” Kata Lek.
Ada
hukuman yang harus aku terima, namanya “kotes”. Kotes adalah genggam tanganmu,
gesekkan ke kepala temanmu. Tidak serius sih hukumannya, tapi semua tindakan
memang ada konsekuensinya.
Sebelum
melakukan pendakian, seharusnya aku berkenalan sedikit dengan gunung ini. Mbah google sudah menyediakan jawaban dari
apapun pertanyaan kita, apalagi hanya Gunung Raung. Atau setidaknya aku
mengenal medannya dengan bertanya kepada abang-abangku. Agar aku tahu kalau di
Gunung Raung tidak ada sumber mata air. Kalaupun ada, hanya saat musim hujan.
Pendakian
ini jatuh pada bulan Juni 2011. Indonesia di bulan Juni masih musim kemarau.
Meskipun musim lagi galau karena pemanasan global. Efeknya musim hujan dan
musim kemarau sudah tidak tentu.
Karena
musim kemarau, kami harus membawa air dari desa terakhir. Kami harus
memanejemen air. Air hanya untuk minum dan masak.
Debat
airnya sudah, kami harus segera memasak agar segera pula berangkat. Menu utama
yang wajib dibawa adalah mie instan. Selain praktis, kandungan karbohidratnya
cukup tinggi yang nanti diubah menjadi energi. Di bulan Juni juga merupakan
musim labu siam di sini. Di sekitar kami banyak labu siam yang sudah dipanen,
tapi kami tidak memasaknya. Mie instan sudah cukup untuk mengisi kembali energi
kami.
Sebelum
berangkat, Lek bilang kalau hari kedua kami harus berjalan sepanjang hari. Aku
berharap Lek berbohong kali ini. Lek jujur, kami berjalan sepanjang hari. Kami
melewati ilalang tinggi yang siap menggores kulit kalau tangan tidak dilindungi
dengan baju lengan panjang. Mulai masuk hutan. Tanjakan, turunan, jalan datar,
eh masih ada tanjakan yang lebih menanjak lagi. Melewati atau menduduki seperti
sofa kayu yang tumbang. Hari benar-benar terik ketika kami beristirahat.
Berhenti sekedar membuat kopi, makan biskuit dan melihat abang-abangku
menikmati rokok hasil racikan sendiri. Capek menjadi sebuah nikmat saat
diistirahatkan. Beberapa kali kami menikmati rasa capek. Kami tidak bisa
istirahat terlalu lama. Selain berburu dengan waktu, udara dingin bisa membuat
kami semakin malas melanjutkan perjalanan.
Hari
sudah menjelang sore saat Bang Korep bilang pondok tempat kami bermalam sudah
dekat. Tanjakan semakin menanjak. Nafas seperti hampir putus. Dua tiga langkah
kaki berhenti, tertahan rasa capek.
“Bang
istirahat, duduk dulu.” Kata Mas Beringin lirih.
“Kenapa
Nduk?” Tanya Bang Korep sembari
menoleh ke arahku.
Aku
hanya tersenyum, untuk bernafas sudah mulai susah apalagi mengeluarkan suara.
Ingin rasanya tertawa terbahak saat mendengar keluhan Mas Beringin yang tidak
terdengar Bang Korep. Aku tidak ingin beristirahat, mencoba melihat seberapa
batas kuat kaki ini melawan rasa capek. Akhirnya perjalanan terus berlanjut.
Aku berjalan di depan Mas Beringin. Di depanku ada Bang Korep yang tampak masih
gesit ditanjakan. Lek berjalan paling belakang, sudah tidak bisa ku jangkau
dengan tolehan.
Pondok
angin kami dapati setelah mengalahkan rasa lelah mulai dari pondok motor,
pondok sumur, pondok tonyok, pondok demit, dan pondok mayit. Seperti namanya,
angin kencang sekali di sini. Tenda segera dibangun, pasak harus ditanam
kuat-kuat untuk melawan angin. Kami harus segera istirahat untuk mempersiapkan
perjalanan terakhir mendapati puncak.
Alarm
handphone berbunyi. Tanda hari sudah
pagi. Jadwal kami melihat sunrise di
puncak. Rasa capek mengalahkan semuanya.
Kami malas bangun meskipun alarm terus berisik. Akhirnya kami meneruskan tidur
sejenak, hingga kami sadar hanya bisa menikmati pesona matahari terbit dari
depan tenda. Rasa malas membuat kami menyesal. Alangkah indahnya jika pesona
ini bisa kami nikmati di puncak.
Berbekal
air minum dan biskuit kami mulai berjalan ke puncak. Puncak sudah sangat dekat,
tapi medan paling sulit ada di sini. Diantara bebatuan yang terlihat gersang,
ada yang cantik sekali di sini. Bunga edelweiss. Ada banyak bunga abadi yang
terhampar. Kenapa bunga ini di sebut bunga abadi? Ada pertanyaan baru yang
bermain dipikiranku. Aku melihat beberapa bunga sudah kering. Lalu apa yang
membuatnya mendapat julukan bunga abadi? Bukankah tidak ada yang abadi di
dunia? Apalagi bunga ini yang sering dibawa pulang oleh pendaki.
Jepretan Mas Beringin |
Aku
juga sempat merengek ingin membawa pulang bunga ini. Tapi abangku sudah
berpesan, “Jangan mengambil sesuatu kecuali gambar, jangan meninggalkan sesuatu
kecuali jejak, dan jangan membunuh sesuatu kecuali waktu.” Belajar memendam
sedikit keinginan untuk kebaikan itu baik. Gunung Raung lebih membutuhkan bunga
edelweiss tetap abadi di sini.
Jepretan Mas Beringin |
Bunga
abadi memang cantik, tapi 3.332 mdpl sudah menunggu. Ada kebanggaan tersendiri
saat mendapati puncak. Setelah melewati bebatuan yang tak begitu kuat untuk
pegangan, jalan kecil yang bisa saja menghempaskan ke jurang, dan angin kencang
yang mampu merusak gendang telinga. Rasa lelah dan takut yang terbayar menjadi
sebuah kebanggaan. Bagaimana tidak bangga, aku sedang berada di negeri atas
awan , menantang angin.
Puncak Raung (Jepretan Mas Beringin) |
Untuk
mengawali perjalanan hanya tentang melawan rasa takut dan malas. Setiap puncak
mempunyai medan perjalanan yang berbeda. Hanya dengan memulainya kita akan tahu
cara menghadapi. Puncak tidak akan pernah didapat tanpa langkah awal. Bahkan
karena takut dan malas tidak akan ada sekedar cerita tentang perjalanan. Sebelum
membunuh waktu, kita harus bisa membunuh rasa takut dan malas untuk memulai.
Keindahan akan lebih nikmat ketika diperoleh dengan perjuangan...
ReplyDeleteTerima kasih rotan sudah ikut dalam GA saya ^_^
Nikmatilah hidup dengan caramu. Lakukan perjalanan dan teruslah menulis :)
ReplyDeleteTerima kasih Rotan atas partisipasinya :)