Monday, April 28, 2014

My First Journey: Melawan 3.332 Mdpl

  
Puncak Raung
Seperti perjalanan pertama, untuk memulai bercerita dengan tulisan cukup sulit harus memulainya dari mana. Aku tahu yang membuatnya sulit, rasa takut dan malas. Harus menghapus rasa takut dan malas untuk mendapati cerita dan pucak.

Perjalanan pertamaku dimulai saat langit sudah benar gelap, meninggalkan Desa Sumber Waringin, desa terakhir di lereng Gunung Raung. Ya, aku dan tiga abangku dalam pendakian Gunung Raung. Gunung Raung terletak di dua kabupaten, Kabupaten Bondowoso dan Banyuwangi. Kami mengambil rute Bondowoso. Alasannya klasik, lebih dekat dengan kota kami, Jember.

Kami disambut dengan jalan bebatuan, jalan makadam. Hari yang sudah gelap membuatku tidak memberi perhatian pada jalan ini. Hanya kaki yang beberapa kali tersandung atau terpeleset kecil. Tapi buatku ini bukan masalah. Berbeda dengan abangku yang pernah beberapa kali ke sini. Namanya Bang Korep, dia benci jalan makadam. Kakinya tidak bisa berpijak dengan pasti, mungkin itu penyebabnya. Pijakan seperti ini cukup lama, karena makadam masih panjang di depan.

Kami masih di pertengahan makadam. Abangku yang lain memutuskan istirahat, kami memanggilnya Lek. Dia tidak bisa tanpa rokok. Cara menikmati hidup setiap orang memang berbeda. Ada yang tidur dengan boneka, ada yang suka sekali mencium bulu kucing, ada yang tidak bisa bernyanyi tanpa ganja, dan banyak cara untuk meikmati hidup. Meski kadang cara menikmati harus bertentangan dengan ladang yang sedang dihuni belalang. Kami juga sedang menikmati hidup duduk di pinggiran jalan berbatu ini, meski yang lain sedang tidur di atas kasur yang empuk.

Aku lupa rasanya capek yang aku rasakan saat itu, sepertinya kakiku tidak merasakan capek. Aku yakin abang-abangku juga belum capek, hanya sekedar ingin menikmati sebatang atau berbatang-batang rokok. Kami duduk berjajar di pinggiran jalan.Saat yang lain menikmati rokok, aku menikmati bintang saja. Menyelonjorkan kaki, menyandarkan badan pada tas yang menjadi beban pundak saat berjalan, memandang ke langit mengintip yang mencuri perhatian. Damai.

“Kenapa kita naik gunung ya Tan? Sudah capek, tidur di rumah lebih enak. Pulang ayo Tan!” Tiba-tiba canda Lek merusak kedamaian.
“Nggak mau.” Jawabku.

Aku diam, pikiranku bermain dengan canda Lek. Obrolan abang-abangku seperti tercampur dengan suara angin. Aku tidak bisa mendengar obrolan mereka dalam permainan ini. Untuk apa aku naik gunung? Kalau aku jawab sekarang, jawabanku hanya karena ajakan teman. Kalau hanya ini jawabannya, benar kata Lek, kenapa aku tidak tidur saja di rumah. Apalagi aku takut gelap. Di sini tidak ada lampu. Kenapa aku tidak mengiyakan canda Lek? Kenapa psikologi alam bebasku malah melawan rasa takut. Di sini gelap, dingin, kotor dan capek.
                                
Udara mulai dingin, suhu tubuh tidak sehangat saat berjalan. Aku semakin tidak konsentrasi dalam canda Lek yang mempermainkanku. Permainan belum selesai dipikiranku, kami sudah mulai kembali berjalan.

Perjalanan tidak mungkin dilakukan tanpa tujuan, pikirku. Aku naik gunung memang hanya karena ajakan teman, tanpa memikirkan untuk apa naik gunung. Bukankah sebuah pendakian gunung tujuannya adalah puncak. Pemandangan yang bagus, bahkan ada yang menyebutnya negeri atas awan adalah iming-iming saat pendakian. Tanpa tujuan, rasa capek dalam sebuah perjalanan tidak akan terbayar.

Malam bertambah larut. Kami memutuskan bermalam di pondok motor. Pondok di sini bukan bangunan, tapi tanah datar untuk mendirikan tenda. Perjalanan pada malam hari sangat berbahaya. Bukan hanya pandangan yang terbatas, tapi bahaya binatang nokturnal dan harus berebut oksigen dengan tumbuhan.
***
Malam berlalu begitu saja. Api unggun segera menjadi abu. Jaket tidak pernah lepas, meski matahari dengan sinar hangatnya mulai menampakkan diri.

Aku tidak bisa membuang kebiasaan dipagi hari, sikat gigi.

“Kamu ngapain Tan?” Tanya Lek dari dalam tenda.

Mulutku masih penuh busa, aku tidak bisa menjawab sempurna.

“Si Rotan gosok gigi Lek.” Sahut abangku, Mas Beringin.
“Kalau airnya habis, nanti gigimu Tan yang kita sesepin.” Tambah Lek mengejek.

Abang-abangku tertawa. Aku bingung. Apa ada yang salah dengan yang aku lakukan?

“Di sini nggak ada air, jadi harus hemat.” Kata Lek.

Ada hukuman yang harus aku terima, namanya “kotes”. Kotes adalah genggam tanganmu, gesekkan ke kepala temanmu. Tidak serius sih hukumannya, tapi semua tindakan memang ada konsekuensinya.

Sebelum melakukan pendakian, seharusnya aku berkenalan sedikit dengan gunung ini. Mbah google sudah menyediakan jawaban dari apapun pertanyaan kita, apalagi hanya Gunung Raung. Atau setidaknya aku mengenal medannya dengan bertanya kepada abang-abangku. Agar aku tahu kalau di Gunung Raung tidak ada sumber mata air. Kalaupun ada, hanya saat musim hujan.

Pendakian ini jatuh pada bulan Juni 2011. Indonesia di bulan Juni masih musim kemarau. Meskipun musim lagi galau karena pemanasan global. Efeknya musim hujan dan musim kemarau sudah tidak tentu.

Karena musim kemarau, kami harus membawa air dari desa terakhir. Kami harus memanejemen air. Air hanya untuk minum dan masak.

Debat airnya sudah, kami harus segera memasak agar segera pula berangkat. Menu utama yang wajib dibawa adalah mie instan. Selain praktis, kandungan karbohidratnya cukup tinggi yang nanti diubah menjadi energi. Di bulan Juni juga merupakan musim labu siam di sini. Di sekitar kami banyak labu siam yang sudah dipanen, tapi kami tidak memasaknya. Mie instan sudah cukup untuk mengisi kembali energi kami.

Sebelum berangkat, Lek bilang kalau hari kedua kami harus berjalan sepanjang hari. Aku berharap Lek berbohong kali ini. Lek jujur, kami berjalan sepanjang hari. Kami melewati ilalang tinggi yang siap menggores kulit kalau tangan tidak dilindungi dengan baju lengan panjang. Mulai masuk hutan. Tanjakan, turunan, jalan datar, eh masih ada tanjakan yang lebih menanjak lagi. Melewati atau menduduki seperti sofa kayu yang tumbang. Hari benar-benar terik ketika kami beristirahat. Berhenti sekedar membuat kopi, makan biskuit dan melihat abang-abangku menikmati rokok hasil racikan sendiri. Capek menjadi sebuah nikmat saat diistirahatkan. Beberapa kali kami menikmati rasa capek. Kami tidak bisa istirahat terlalu lama. Selain berburu dengan waktu, udara dingin bisa membuat kami semakin malas melanjutkan perjalanan.
 
Foto hasil jepretan Bang Korep
Hari sudah menjelang sore saat Bang Korep bilang pondok tempat kami bermalam sudah dekat. Tanjakan semakin menanjak. Nafas seperti hampir putus. Dua tiga langkah kaki berhenti, tertahan rasa capek.

“Bang istirahat, duduk dulu.” Kata Mas Beringin lirih.

“Kenapa Nduk?” Tanya Bang Korep sembari menoleh ke arahku.

Aku hanya tersenyum, untuk bernafas sudah mulai susah apalagi mengeluarkan suara. Ingin rasanya tertawa terbahak saat mendengar keluhan Mas Beringin yang tidak terdengar Bang Korep. Aku tidak ingin beristirahat, mencoba melihat seberapa batas kuat kaki ini melawan rasa capek. Akhirnya perjalanan terus berlanjut. Aku berjalan di depan Mas Beringin. Di depanku ada Bang Korep yang tampak masih gesit ditanjakan. Lek berjalan paling belakang, sudah tidak bisa ku jangkau dengan tolehan.

Pondok angin kami dapati setelah mengalahkan rasa lelah mulai dari pondok motor, pondok sumur, pondok tonyok, pondok demit, dan pondok mayit. Seperti namanya, angin kencang sekali di sini. Tenda segera dibangun, pasak harus ditanam kuat-kuat untuk melawan angin. Kami harus segera istirahat untuk mempersiapkan perjalanan terakhir mendapati puncak.

Alarm handphone berbunyi. Tanda hari sudah pagi. Jadwal kami melihat sunrise di puncak.  Rasa capek mengalahkan semuanya. Kami malas bangun meskipun alarm terus berisik. Akhirnya kami meneruskan tidur sejenak, hingga kami sadar hanya bisa menikmati pesona matahari terbit dari depan tenda. Rasa malas membuat kami menyesal. Alangkah indahnya jika pesona ini bisa kami nikmati di puncak.

Berbekal air minum dan biskuit kami mulai berjalan ke puncak. Puncak sudah sangat dekat, tapi medan paling sulit ada di sini. Diantara bebatuan yang terlihat gersang, ada yang cantik sekali di sini. Bunga edelweiss. Ada banyak bunga abadi yang terhampar. Kenapa bunga ini di sebut bunga abadi? Ada pertanyaan baru yang bermain dipikiranku. Aku melihat beberapa bunga sudah kering. Lalu apa yang membuatnya mendapat julukan bunga abadi? Bukankah tidak ada yang abadi di dunia? Apalagi bunga ini yang sering dibawa pulang oleh pendaki.

Jepretan Mas Beringin
Aku juga sempat merengek ingin membawa pulang bunga ini. Tapi abangku sudah berpesan, “Jangan mengambil sesuatu kecuali gambar, jangan meninggalkan sesuatu kecuali jejak, dan jangan membunuh sesuatu kecuali waktu.” Belajar memendam sedikit keinginan untuk kebaikan itu baik. Gunung Raung lebih membutuhkan bunga edelweiss tetap abadi di sini.



Jepretan Mas Beringin
Bunga abadi memang cantik, tapi 3.332 mdpl sudah menunggu. Ada kebanggaan tersendiri saat mendapati puncak. Setelah melewati bebatuan yang tak begitu kuat untuk pegangan, jalan kecil yang bisa saja menghempaskan ke jurang, dan angin kencang yang mampu merusak gendang telinga. Rasa lelah dan takut yang terbayar menjadi sebuah kebanggaan. Bagaimana tidak bangga, aku sedang berada di negeri atas awan , menantang angin.


Puncak Raung (Jepretan Mas Beringin)

Untuk mengawali perjalanan hanya tentang melawan rasa takut dan malas. Setiap puncak mempunyai medan perjalanan yang berbeda. Hanya dengan memulainya kita akan tahu cara menghadapi. Puncak tidak akan pernah didapat tanpa langkah awal. Bahkan karena takut dan malas tidak akan ada sekedar cerita tentang perjalanan. Sebelum membunuh waktu, kita harus bisa membunuh rasa takut dan malas untuk memulai.

2 comments:

  1. Keindahan akan lebih nikmat ketika diperoleh dengan perjuangan...

    Terima kasih rotan sudah ikut dalam GA saya ^_^

    ReplyDelete
  2. Nikmatilah hidup dengan caramu. Lakukan perjalanan dan teruslah menulis :)

    Terima kasih Rotan atas partisipasinya :)

    ReplyDelete