Tuesday, February 24, 2015

Menyimpan Pulau Sempu

Aku sengaja menyimpan cerita perjalananku ke Pulau Sempu saat aku menuliskan kunjungan ke Malang Januari kemarin. Aku tidak tahu cara mengonsep tulisan cerita ke Sempu. Aku ingat bahwa tulisan bisa menarik perhatian dan berdampak pada objek tulisan.
Pantai

Ini perjalanan kami ke Pulau Sempu. Kami memulai perjalanan dari pasar Turen menggunakan angkutan umum. Kami tetap berangkat berenam (Aku, Nendes, Arus, Suket, Ganjur, dan Daun). Angkutan ini mengantar kami ke pantai Sendang Biru, dermaga yang akan menyeberangkan kami ke Pulau Sempu. Perjalanan kami sekitar dua jam.


Perjalanan ini direncanakan dengan singkat. Kami hanya ingin tempat untuk berlibur di Malang setelah pendakian kami ke Arjuno Welirang gagal. Kami tidak mencari informasi lebih banyak lagi tentang tempat ini. Yang kami tahu, Pulau sempu banyak dibicarakan teman kami sebagai tempat yang bagus.

Perahu dan guide yang akan mengantar kami sudah disiapkan sehari sebulumnya lewat telfon. Kami tinggal mencari pak Kepis pemandu kami sesampainya di Sendang Biru. Setelah bertemu dengan Pak Kepis, kami tinggal menunggu perahu yang akan mengantarkan kami.
"Mau diantar di sebelah mana?" Kata pak Kepis sembari tersenyum ramah.
"Ke Pulau Sempu, Pak." Jawab kami.
"Iya, Pulau Sempu itu luas. Banyak tempat yang bisa di kunjungi. Ada Pantai Semut, Telaga Lele, banyak pokoknya." Jelas pak Kepis.

Perahu siap. Kami menyeberang sekitar sepuluh menit untuk sampai ke Pulau Sempu. Pertama kali menginjakkan kaki, Pulau Sempu berpasir putih lembut dan berair sangat jernih. Kami tidak tahu harus ke titik sebelah mana dari Pulau Sempu yang ingin kami kunjungi. Pak Kepis membawa kami ke Telaga Lele sambil menjelaskan tempat yang lain. Aku tertarik ke Pantai Semut. Tapi sayang, Pak Kepis tidak bisa mengantar kami ke sana karena medannya yang sulit. Waktu empat jam dan medan yang berlumpur hingga bisa sampai selutut pasti tidak masalah untuk kami, tapi kami tidak memaksa untuk ke sana.
Telaga Lele

Kami harus jalan kaki untuk sampai di Telaga Lele. Pukul empat sore kami sampai setelah menempuh satu jam sepuluh menit dari tempat kami turun perahu. Kami membagi tugas, aku dan Daun memasak, ada yang membangun tenda, dan yang tidak bertugas langsung menemani Pak Kepis memancing. Tidak ada manusia lain selain kami di sini.
Telaga Lele

Telaga Lele airnya sedang  keruh, mungkin karena musim hujan. Air, pohon, suara biatang, ular yang melintas tanpa berisik, dan hanya suara canda kami membuat tempat ini terasa damai.

Malam hari hujan turun deras sekali. Kami menyegerakan makan untuk mengembalikan energi. Lalu juga menyegerakan tidur.

Pagi datang lambat. Semalaman aku mendengar hewan-hewan nokturnal. Sesekali aku tersadar dan mencoba tidur lagi hingga pagi benar-benar tiba.

Aku bagnun dan membuka tenda. Matahari sudah terang dang menguapkan air telaga. Pak Kepis sudah mendapat ikan banyak. Ada yang masih menikmati tidurnya mungkin karena tidak bisa tidur semalam karena hujan.
Masuk Hutan

Aku mendekat ke danau, melihat Pak Kepis memancing. Kata Pak Kepis air Telaga Lele mengandung banyak zat kapur jadi harus dimasak terlebih dulu sebelum mengonsumsinya. Aku juga menggunakan air ini untuk memasak.

Kami menikmati Telaga hingga siang hari. Membuat api unggun. Membakar dan menggoreng ikan hasil pancingan. Jalan-jalan masuk hutan meski tidak jauh dari telaga. Mengabadikannya lewat foto. Lalu bersiap untuk kembali ke pantai. Tiga puluh menit setelah matahari tepat di atas kepala, kami berjalan kembali ke Pantai.

Kami juga berencana bermalam di Pantai. Pak Kepis tidak lagi menemani kami bermalam. Di sini ada signal, besok kami di minta menelfon ketika sudah siap pulang meski kami telah janjian untuk pulang jam sepuluh. Sesampainya kami melihat pasir putih lagi, kami langsung menaruh karier dan berhamburan ke pantai menceburkan diri ke laut.

Aku tidak bisa berenang. Daun dan Suket berkali-kali mengajariku, tapi aku berenang tanpa bisa mengambil nafas. Akhirnya aku hanya diperbolehkan mandi di bagian yang masih bisa dipijak kakiku. Banyak batu karang dan ikan-ikan kecil. Kakiku juga sempat digigit kepiting. Ganjur menemukan kerang yang bisa kami masak.

Hari mulai petang, kami takut hujan turun lagi. Kami membersihkan tempat sekitar tenda akan dibangun, banyak sekali sampah plastik bahkan pempers dan pembalut. Kami bingung harus di apakan sampah sebanyak ini. Akhirnya kami memutuskan untuk membakarnya. "Dibakar saja, di sini masih banyak pohon yang bisa menyerap karbon." Kata Suket. Ternyata sampah-sampah ini terlalu basah untuk bisa dibakar, tapi sampah-sampah sudah terlanjur kami tumpuk.

Tapi kami berharap hujan seperti semalam. Air minum kami habis, kami harus survive air. Air laut tidak bisa diminum, akan semakin haus jika meminumnya. Managemen perjalanan yang buruk akan berdampak buruk pula pada perjalanan. Kami titip pada nelayan untuk membelikan air mineral, dengan harga mahal.

Beruntung masalah kami tentang air mineral sudah terselesaikan. Kami kembali bermain ke laut. Menanti senja di air laut yang mulai menyurut. Langit yang merona memantul di laut seperti bercermin. Kami sesekali juga menggoda nelayan yang dengan santai mendayung perahu dengan bertanya apakah kami boleh ikut naik perahu kecilnya.

Hari sudah malam, gerimis mengusik. Kami tetap menikmati malam. Jika teringat esok hari harus berkemas untuk pulang, ingin rasanya malam ini dihabiskan dengan terjaga dan bercerita di dalam tenda atau di pantai.

Pagi cepat sekali kembali. Aku terbangun saat matahari sudah terang meski udara masih sejuk tanda pagi hari. Kami kembali mencumbui laut, seperti ini akan menjadi yang pertama dan terakhir, seakan tidak akan pernah kembali ke sini. Entah aku juga takut kembali ke sini. Takut kedatanganku menambah kerusakan di Pulau Sempu, entah mengganggu ekosistem, menambah sampah dan polusi.

Ketakutanku datang ke Pulau Sempu sama seperti ketakutanku bercerita. Aku takut banyak yang tertarik datang saat melihat foto dan cerita tentang Pulau Sempu, lalu melakukan kesalahan yang sama, menambah kerusakan. Tapi, tanpa aku ceritapun pasti akan banyak yang berkunjung.

Yang aku tahu, ciptaan Tuhan memang untuk dimanfaatkan tapi juga tetap dilindungi dan dijaga. Berkunjung ke Pulau Sempu dan menikmati keindahannya, itu salah satu cara memanfaatkan ciptaan  Tuhan. Dengan tidak meninggalkan sampah di sana dan perbuatan apapun yang menyebabkan kerusakan, mungkin itu contoh kecil cara untuk melindungi dan menjaga agar Pulau Sempu tetap cantik dalam kelestariannya. Siapapun berhak berkunjung dan menikmati Pulau Sempu, tetapi mereka juga mempunyai kewajiban untuk tetap melindungi dan menjaganya atas kesadaran diri tanpa memandang Pulau Sempu kawasan konservasi sebagai cagar alam yang dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Timur dan Departemen Kehutanan Indonesia.

Karena ini, aku akhirnya memutuskan untuk tetap menuliskan perjalanan kami ke Pulau Sempu.

3 comments:

  1. Menarik. Pantai sendang biru dengan Pulau sempunya yang indah nan menawan. Salam kenal dari Sewa Mobil Malang, http://rentalsewamobilmalangbatu.com/, Simpati 082141 555 123

    ReplyDelete
  2. Sayangnya saat ini quota pengunjung pulau sempu sangat-sangat dibatasi mbak. Hal ini adalah untuk menjaga lingkungan agar tetap terjaga dengan baik. Karena tak jarang banyak sekali wisatawan alay yang tidak cukup bertanggung jawab. Pastikan menghubungi TravelMalang.com jika Mau ke Sempu. Daripada nanti kecewa sudah sampai Malang eh ternyata sudah kehabisan kuota ijin berkunjung. Salam Sasaji Arema...

    ReplyDelete