Wednesday, August 24, 2016

MI Kaki Gunung

Pagi di Sumber Candik, Panduman selalu menawan. Matahari meremang dan terbit dari arah gunung Raung. Dari tempat berketinggian 776 mdpl ini, kita juga bisa melihat kota Jember yang sedang tertutup kabut. Menikmati wedang serai buatan bu In sembari membalas senyum ramah warga yang lalu-lalang pergi ke kebun. Yang paling menyenangkan, melihat anak-anak malu-malu menyapa kami ketika berpapasan dengan kami saat mereka berangkat sekolah.
Sunrise Sumber Candik

Dusun yang masuk kecamata Jelbuk ini hanya perlu ditempuh dengan waktu satu jam dari pusat kota. Medan yang menanjak dan berbatu yang membuat Sumber Candik cukup sulit di akses. Warga juga perlu melakukan perjalanan sulit untuk mendapat fasilitas seperti pendidikan. 

Ada dua sekolah terdekat dari Sumber Candik. MI An Nur di jalan Rembangan dusun Gading, desa Darsono, dan masuk kecamatan lain yaitu kecamatan Arjasa merupakan salah satu sekolah terdekat dari Sumber Candik.
Plang Sederhana MI An Nur


Senin lalu, 22 Agusstus 2016, dua kalinya aku dan mbak Tuti turun ke MI dari pondok tempat kami tinggal selama mengajar di Sumber Candik. Awalnya kami ingin merasakan seberapa jauh perjalanan anak-anak ke sekolah, dan melihat kondisi sekolah serta bagaimana anak-anak saat belajar di sekolah mereka.

Perjalanan ke dua ini, kami hanya perlu menempuh waktu satu jam dengan jalan cepat untuk turun ke MI. Berbeda saat pertama kali kami mencari sekolah yang berdampingan dengan PAUD dan MTS ini, pada Senin 15 Agustus 2015. Kami perlu menempuh waktu selama dua jam. Aku masih ingat perjalanan yang membuat kami kelelahan dengan rasa khawatir tersesat dan sekolah telah bubar yang artinya kami tidak bisa pulang bersama anak-anak.

Hari itu masih pagi dan dingin meski sinar matahari sudah terang. Pagi hari adalah waktu warga berkebun. hanya beberapa ibu di rumah dan laki-laki yang lalu-lalang membawa hasil berkebun seperti jagung, kopi, atau rumput.

Beberapa kali kami bertemu kebun kopi. Wangi bunganya menyebar di jalanan. Saat ini juga musim warga panen raya kopi.

Perjalanan masih jauh, kami sudah mulai mengeluh membayangkan bagaimana saat kami pulang nanti yang tentu jalanannya tanjakan.

"Bu, kalau mau ke MI Gading lewat mana?" Tanyaku kepada dua ibu-ibu yang kebetulan lewat saat kami mendengar suara air sungai.

Mbak Tuti ingat cerita anak-anak, jika mereka harus menyeberang sungai setelah melewati masjid. Satu ibu menunjuk arah sungai, ibu satunya menunjuk arah jalanan berbatu. Kami memilih jalan yang ke arah sungai.Ternyata sungai sudah berjembatan bambu.
Sungai menjadi tempat anak-anak istirahat untuk minum dan mandi sepulang sekolah

"Ya jauh nggak jauh. Satu kilo meter lagi." Teriak bapak yang kita tanya di sekitar jembatan.

Kami terus berjalan. Rasanya sudah lebih dari satu kilo, namun tidak ada tanda-tanda kami keluar dari kebun dan sawah. Setelah dua kali lagi bertanya, kami sampai pada pertigaan yang berumbul-umbul nama yayasan yang menaungi Mi An Nur, Yayasan Pendidikan Islam Sa'adatul Kholili.

Seorang bapak yang baru saja kami tanya menunggu dipertigaan dan menunjuk arah kiri. Jalanan kembali berpemandangan persawahan di kanan kiri. Kami semakin meninggalkan umbul-umbul dan merasa tersesat. Kami kembali mengehentikan orang untuk bertanya.

 "Masih jauh." Kata lelaki bersepeda motor menunjuk ke arah lurus.

Kurang lebih kami berjalan satu kilo baru menemukan rumah. Kami mendatangi rumah tersebut untuk kembali bertanya. Seorang kakek bersama cucunya memberitahu kepada kami bahwa MI berada tak jauh dari umbul-umbul. Kami putar balik dengan terus mengeluh.

MI yang kami cari ada di kanan pertigaan tempat orang menunjuk ke arah kiri. Sekolah ada di belakang masjid. Dua orag yang kami tanya dan menyesatkan kami, aku yakin mereka tidak sengaja. Keterbatasan pemahaman bahasa Madura kami dan sebaliknya keterbatasan bahasa Indonesia warga di sini membuat komunikasi cukup sulit.
Hamidah (berkerudung hijau) dan temannya

Hamidah, salah satu anak yang belajar bersama kami di Sumber Candik menyambut kami ketika dia tahu kedatangan kami. Kami memintanya mengantarkan ke ruang guru. Sambutan yang ramah oleh guru yang sedang membersihkan ruang guru bersama murid-murid.

Anak-anak tidak ada pelajaran saat itu. Pak Sugiono, guru yang menyambut kami mengatakan bahwa ada hajian di sekolah yang dinaungi departemen agama ini. Anak-anak membantu merapikan ruang guru.

Ruang guru yang cukup luas dengan sedikit perabotan. Ada ruang tamu yang bersanding dengan rak buku. Di belakang kursi juga ada lemari yang membelakangi kami. Artinya, aku tidak tahu apa yang ada dihadapan lemari yang di atasnya terdapat karya anak-anak. Salah satu dari kerajinan tangan itu, pernah memenangkan lomba daur ulang se kabupaten.
Pak Hariono saat menunjukkan kerajinan tangan dari pelepah pohon pisang yang memenangkan lomba

Anak-anak tampak akrab dengan pak Sugiono yang masih tiga tahun lebih mengajar di sini. Guru yang bertempat tinggal di Kemuning ini menempuh delapan kilo meter untuk ke MI.

Pak Sugiono bercerita bahwa guru-guru sering ke Sumber Candik untuk berkunjung ke wali murid atau sekedar ingin merasakan yang anak-anak rasakan selama diperjalanan. Pak Sugiono juga bercerita tentang jembatan bambu yang kami lewati didanai oleh yayasan sekolah MI. Jembatan dibangun atas permintaan wali murid karena anak mereka yang tidak bisa berangkat sekkolah ketika hujan air sungai meluap. Pembangunannya juga bergotong-royong dengan wali murid.
Hamidah bersandal jalan berjinjit karena kaki kirinya terkena batang jagung
"Pendidikan kan tidak harus pakai sepatu. Lihat medan. Apalagi kalau hujan." Kata pak Sugiono ketika mbak Tuti ditengah obrolan meminta maaf karena kami memakai sandal.

Tidak semua murid di sini memakai sepatu. Mungkin memang karena medan yang lebih mudah dicapai dengan sandal, mungkin alasan ekonomi, mungkin jauh dari pasar, atau kemungkinan lainnya. Terlalu sensitif menanyakan alasan kepada mereka.

Sekolah yang mempunyai kepala sekolah bernama Eka Prasetya ini tidak mengikuti kurikulum 2013 atau pak Sugiono menyebutnya K 13. Sekolah tetap berbasis madarasah, sesuai kondisi yang ada.

"K 13 kalau didessa mungkin tidak bisa." Kata pak Sugiono.

"K 13 itu guru cuma kasih pandangan, siswa yang diminta lebih aktif. Dibuku semua sudah ada." Lanjut pak Sugiono ketika kami menanyakan tentang sistem K 13.

Pak Sugiono pasrah tentang menteri pendidikan yang diganti, yang belum tahu pengaruh terhadap sekolah tempatnya mengajar ini. Aku setuju dengan pak Sugino bahwa yang lebih tahu penerapan kurikulum memang pengajar disekolah tersebut. Mereka lebih tahu bagaimana cara mengajar untuk anak didiknya.

Dikunjungan kami kedua, tujuan kami sebenarnya membawa sumbangan buku. Pak Eka yang telah menggendong ranselnya menemui kami. Pak Eka juga menyambut kami dengan ramah sampai harus menunda rencananya pergi ke Bank.

"Dari empat belas guru, dua guru yang sertifikasi. Bisa daftar sertifikasi kalau kelahiran 1984 dan mengajar mulai 2005. Saya termasuk yang belum sertifikasi." Kata pak Eka, kepala sekolah dengan tahun kelahiran 1989 yang tampak lebih tua dari usianya.
Anak-anak mengajak istirahat

Sekolah riuh dengan lomba tujuh belasan. Guru-guru mempersiapkan lomba. Kami pamit dan menunggu anak-anak untuk pulang bersama lagi. Perjalanan pulang bisa kami tempuh selama satu setengah sampai dua jam. Ini yang kami tunggu, pulang bersama anak-anak dan mendengar banyak cerita dari mereka.

Anak-anak melepas baju saat gerah dan berkeringat

No comments:

Post a Comment