Tuesday, October 4, 2016

Mabuk Obat Anti Mabuk

Momok saat aku melakukan perjalanan jauh adalah mabuk perjalanan. Kendaraan paling memabukkan adalah bus dan mobil. Jika membiarkan melakukan perjalanan tanpa persiapan dan akhirnya mbuk, artinya aku menyiksa diri sendiri dan orang yang melakukan perjalanan denganku. Masalah mabuk akan selesai jika aku melakukan persiapan dengan meminum obat antik mabuk. 

Senin minggu yang lalu aku dan mas Nanda berangkat dari Jember. Jam enam pagi kami sudah berada di Tawang alun, salah satu terminal di Jember. Kami akan naik bus jurusan Surabaya.

"Mas kita nggak makan dulu? Aku harus minum obat anti mabuk." Kataku kepada mas Nanda.
Perjalanan Kali Ini
Kami mencari warung dan aku segera meminum obat anti mabuk. Bus patas jurusan Surabaya tak lama berangkat. Hanya butuh waktu sepuluh menit perutku sudah terasa diaduk-aduk. Aku mulai gelisah. Jarak minum obat dan naik bus terlalu dekat. Obat anti mabuk belum bereaksi. Mas Nanda memintaku tidur. Awalnya aku tidur dengan gelisah menahan muntah. Tak lama obat bereaksi membuatku mengantuk dan perutku kembali nyaman. Aku terbangun dua jam kemudian, bus sudah masuk terminal Probolinggo.

Perjalanan masih berlanjut. Bus menuju ke Surabaya. Pesawat membawa kami terbang sampai ke Jakarta. Dan kembali naik mobil menuju Depok ke rumah kakak dari mas Nanda.

Keesokan harinya aku harus kembali minum obat anti mabuk. Kami harus berangkat ke LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Jakarta. Kemanapun kami pergi, kami harus menggunakan kendaraan umum. Selain tidak ada kendaraan pribadi, kalaupun ada kami tidak tahu jalan.
Teman Tapi Musuh ; Mobil Angkutan Umum

Perjalanan ini ada dua tujuan. Tujuan pertama untuk ikut serta merayakan ulang tahun Sokola Rimba. Pada ulang tahunnya, Sokola mengadakan diskusi di LIPI pada Selasa, 27 September 2016. Diskusi ini bertema Mencari Rumusan Pendidikan Kontekstual Bagi Masyarakat Adat. Ada lima pembicara; Don K. Marut (Board of Sokola Institute), Dr. Makmuri Soekarno (P2 Kependudukan-LIPI), Butet Manurung (Sokola Institute), Abdon Nababan (AMAN {Aliansi Masyarakat Nusantara}), dan Indra N.Hatasura (Rimbawan Muda Indonesia). Jika ku tulis semua isi diskusi dari semua penyampaian pemateri dan peserta diskusi, cerita tentang mabuk perjalanan tidak akan cepat usai. Yang jelas aku setuju dengan kata Abdon Nababan yang akrab dipanggil dengan bang Don bahwa ketika keluar dari diskusi ini, kami tidak boleh merasa bahwa kami akan menemukan satu jalan pendidikan untuk masyarakat adat.

Kami pulang diskusi menginap di rumah salah satu pendiri Sokola, mbak Indit dan bang Dodit. Mobil berjalan berjam-jam ke Sawangan, Depok, karena macet. Efek samping mengantuk ketika minum obat anti mabuk menjadi kentungan dan kerugian. Keuntungan karena aku tidak merasakan mual yang pasti, dan macet lalu lintas. Sebuah perjalanan harusnya juga tentang proses menuju tempat, bukan hanya membuka mata sampai ditujuan. 

Keesokannya aku harus masih menelan obat anti mabuk. Kami harus pulang ke rumah kakak mas Nanda.

Hari selanjutnya kami memang berencana berangkat ke rumah kak Butet yang juga menjadi kantor Sokola di Bekasi, Kranji. Namun kami terlebih dahulu ke Jakarta untuk ikut kak Butet yang mengisi seminar bertema Dare to Care di Prudential. Kak Butet menyampaikan tantangan mengajar di Sokola Rimba, Jambi, dengan menarik. 

"Bukan seberapa hebat kita secara fisik, tapi seberapa beguna kita untuk orang lain." Kata kak Butet disela-sela ceritanya.

Kami pulang bersama kak Butet ke Bekasi masih dengan mobil yang membuatku mabuk jika aku tidak minum obat anti mabuk. Perjalanan hampir tiga jam juga terasa singkat karena aku lelap dalam mobil.

Malam setelah seminar pula kami berangkat ke Bogor. Aku tidak tahu apa-apa diperjalanan karena masih tidur dalam mobil.
Perjalanan Menuju ke Air Terjun Cibereum
Sokola ke Bogor untuk piknik merayakan ulang tahun tepat di 30 Oktober. Kami piknik di air terjun di bawah gunung Gede Pangrango, air terjun Cibereum. Siang hari setelah menginap di vila tak jauh dari tempat masuk kawasan Gede Pangrango, kami berjalan ke air terjun. Sore hari kami kembali pulang. Aku kembali minum obat anti mabuk sebelum naik mobil. Aku kembali melewatkan perjalanan pulang dengan efek obat anti mabuk, mengantuk lalu lelap.

Hari Sabtu kakak mas Nanda mengajak kami ke TMII (Taman Mini Indonesia Indah). Aku kembali menelan obat anti mabuk meski kali ini aku mencoba tidak tidur. 

Minggu malam, kami ke rumah saudara mas Nanda. Kami kembali naik mobil. 

"Mas aku minum obat?" Tanyaku khawatir.

Mas Nanda melarangku. Rumah saudara memang tidak jauh. Namun perutku terasa diaduk-aduk sesampai di rumah saudara mas Nanda. Selama di rumah saudara mas Nanda, pikiranku terus ingin minum obat. Namun kami segera pulang. Aku menahan rasa mual selama perjalanan. Sedikit saja mobil melaju lebih jauh, aku tidak yakin bisa menahan mual.

Senin aku kira kami tidak akan kemana-mana, yang artinya aku bebas dari obat anti mabuk. Namun selama masih di sini, obat anti mabuk masih terus terbayang. Ternyata malam hari ketika kakak mas nanda pulang dari kerja, dia memutuskan mengantar kami ke tempat tujuan kedua. Aku minum obat anti mabuk segera setelah keputusan itu. Kami akan ke rumah ibu mas Nanda di Sawangan, Depok. Memang masih sekitar Depok, namun bayangan jauh dan macet tidak bisa dihilangkan.

Ibu mas Nanda hari selasa libur. Kami jalan-jalan masih dengan angkutan umum. Ibu sengaja mengajak kami jalan-jalan dengan angkutan umum agar kami tahu cara ke rumah ibu dengan angkutan umum.

"Mas aku minum obat?" Tanyaku sebelum berangkat.

Mas Nanda menggeleng. Aku tidak merasakan mual. Sampai malam hari kakak dari mas Nanda menjemput kami. Hari ini aku tidak mengonsumsi obat anti mabuk.

Bukan Jimat

Hari ini aku dan mas Nanda akan ke Jogja sebelum pulang ke Jember. Perjalanan kali ini menggunakan kereta, aku tidak akan mabuk dan harusnya tidak perlu minum obat. Namun dalam otakku menyarankan agar minum obat, takut setelah turun dari kereta harus naik mobil angkutan umum.

Ketakutan dalam perjalanan memang mabuk atau mual. Namun ketika harus setiap saat minum obat anti mabuk, ketakutan ketergantungan juga ada. Ketergantungan sugesti bahwa aku akan mabuk jika tanpa obat anti mabuk. Efek samping dalam kesehatan memang tidak terasa, namun pikiran akan efek samping ini yang terasa. Karena apapun yang berlebihan sebenarnya tidak baik, berlebihan juga membuat mabuk. Jika membayangkan ketakutan itu, mual dan obat anti mabuk itu sendiri terasa membosankan dan membuat mabuk ketakutan. 

Tanpa memikirkan ketakutan itu, sebenarnya ketika aku mengonsumsi obat anti mabuk karena aku merasa tahu kondisi tubuhku. Meski banyak yang bilang bahwa mabuk hanya tentang sugesti, namun aku sering kali gagal dengan sugesti bahwa aku tidak akan mabuk. Bukankah yang paling tahu kondisi tubuh kita adalah diri kita sendiri. 

No comments:

Post a Comment