Friday, December 23, 2016

Rasa Asin

     Asin yang kita kenal berorientasi pada rasa garam. Kadar rasa asin yang dicecap setiap lidah berbeda. Lidah satu mengatakan cukup asin, lidah satu lagi merasakan kurang asin, dan lidah lain mencecap terlalu asin. Begitulah rasa asin, sama seperti semua rasa yang bersifat relatif.
       
      Di hari Jumat pada musim hujan, hujan turun menjelang tengah hari bersama ayat-ayat Al Quran yag dikumandangkan di masjid-masjid menjemput sholat Jumat. Aku dan mas Mas Nanda duduk di depan rumah Jangkar di kota Bondowoso, menunggu adik kami itu pulang. Bondowoso terasa semakin sepi dengan suara guyuran hujan dan syahdu lantunan ayat-ayat Al Quran.

     Akhir-akhir ini hujan selalu mengingatkanku pada jalanan berbatu yang sulit dilewati bahkan saat cuaca cerah. Kami harus pintar-pintar melihat wajah langit. Jika hujan turun, kami tidak akan bisa melewatinya. Melewati jalan menuju Sumber Candik, salah satu dusun di kaki gunung Argopuro di Jember. Mengingat Sumber Candik, artinya mengingat para penghuninya. Termasuk bu Dur, yang memberi kami tempat tinggal sementara sebelum tempat tinggal kami selesai dibangun. Selain telah berbaik hati memberi kami tempat tinggal, bu Dur juga selalu memasakkan untuk kami.
Rasa Asin Masakan bu Dur

     Kami suka masakan bu Dur yang sederhana, namun kadang terlalu asin untuk lidah kami. Maka ketika teringat bu Dur, kami juga mengingat masakannya yang terlalu asin. Seperti di siang yang syahdu ini. Ingatan bagaimana rasa asin masakan bu Dur membawaku jalan-jalan pada lamunan. Aku ingat bagaimana rasa sambal terasi yang terlalu asin menurutku dan mas Nanda namun keluarga bu Dur lahap menyantapnya. Sedangkan sambalku yang terlalu manis untuk mereka, pak Dur bilang tidak enak sedangkan kami menikmatinya. Sayur asam buatanku yang kami rasa cukup asin, tiba-tiba bu Dur datang membawa garam untuk menambah kadar asin pada sayur asam atas saran pak Dur. Kami tinggal bersama keluarga yang memiliki kadar rasa asin masakan yang berbeda.

     Hujan mereda saat suara adzan sholat Jumat sudah dikumandangkan. Jangkar belum juga datang. Kami harus pulang dengan rencana kembali lagi setelah solat Jumat usai.

       Ah, rasa asin kenapa menjadi masalah, cuma rasa yang terlalu asin pada makanan kan, jika sudah masuk perut juga akan diperlakukan sama dengan rasa yang lain oleh lambung. Masih banyak masalah dihidup ini yang lebih penting. Tapi bukankah permasalah yang dihadapi setiap orang seperti rasa asin yang bersifat relatif. Masakan asin bisa bermasalah untuk lidah beberapa orang, namun beberapa orang lainnya tidak mempermasalahkan. Satu masalah terasa berat untuk satu orang belum tentu berat untuk orang lain. Masalah kami tentang masakan asin juga terasa berat ketika kami sulit mengatakan bahwa makanan yang dimasak bu Dur terlalu asin, karena berhubungan dengan menjaga perasaan bu Dur yang telah meluangkan waktunya untuk memasakkan kami. Namun orang lain belum tentu mempermasalahkan rasa asin ini. Seperti kami yang tidak bisa memaksa keluarga bu Dur untuk mengatakan masakan mereka terlalu asin, kita juga tidak bisa mengatakan masalah kita lebih berat dari pada masalah orang lain. Setiap dari kita memiliki kadar untuk merasakan berat sebuah masalah, seperti kadar rasa asin pada setiap lidah.
   
       Setelah solat Jumat selesai kami kembali menunggu Jangkar di depan rumahnya dengan hasil yang sama, kami tidak bertemu Jangkar. Kami memutuskan untuk meneruskan perjalanan meski hujan turun deras turun kembali dan membuat sepatu kami menjadi aquarium. Tapi itu tak masalah untuk kami, kami suka hujan-hujanan sekalian ketika hujan turun. Kami meninggalkan catatan untuk Jangkar sebelum meninggalkan rumahnya. Tercatat bahwa kami telah berkunjung ke rumahnya dan tidak bisa menghubungi nomor telfonnya, dan permintaan agar dia menghubungi kami. Jika Jangkar menghubungi kami nanti, kami akan meneruskan kalimat yang tidak kami tulis pada catatan yang kami tinggalkan di bawah pintu. Bahwa kami akan mengajaknya untuk menikmati sebuah rasa asin.

No comments:

Post a Comment