Nobar dan Sabar

Semalam rumah kontrakan kami ramai sekali, ada kunjungan dari saudara-saudara SWAPNEKA. Kami memang mengundang mereka untuk safari ramadan di rumah kami.

Nobar dan Sabar

Safari ramadan ala SWAPENKA biasanya buka bersama ke rumah alumni (di SWAPENKA alumni disebut ALB {Anggota Luar Biasa}). Karena aku dan suamiku, mas Kernet, sudah sama-sama ALB, kami ingin mengadakan safari ramadan di rumah kami. Safari ramadan kali ini kami sengaja mengajak untuk buka sampai sahur. Sembari menunggu sahur, kami berencana menonton sepak bola. Tapi Manong menghubungi kami jika ada acara di sekretariat sampai pukul sembilan malam. Menghubungi kami setelah kami belanja di pasar dekat rumah untuk berbuka dan sahur. Safari ramadannya kami ganti dengan sabar dan nobar, sahur bareng dan nonton bareng.

Anak-anak SWAPENKA datang pasti setelah acara di sekret selesai. Tentu aku sudah tertidur ketika menidurkan Noam selepas Isya. Mas Kernet membangunkanku ketika anak-anak baru saja datang. Aku memang meminta mas Kernet membangunkanku. Sesuai rencana, aku akan membuatkan gorengan tempe gembos untuk pendamping kopi dan teh.

Waktu masih lama untuk jam tayang sepak bola. Mas Kernet dan anak-anak SWAPENKA berbincang banyak dan bercanda. Itulah cara kami saling melepaskan rindu. Sesekali aku ikut bercanda, menanyakan kabar.

"Mbak Rotan tiba-tiba sudah jadi ibuk-ibuk." Celetuk Barong yang masih sempat menjadi anggota aktif bersamaku. Sembari terus menggoreng, aku juga merasakan itu. Merasa waktu cepat sekali. Seperti baru kemarin masih tiduran di sekret, jalan-jalan bersama mereka, dan marah-marahan sesekali.

Aku kembali ke kamar setelah membuat gorengan dan sambel bawang mentah yang dituangi minya panas untuk menemani tempe gembos yang diberi jaket tepung. Aku meminta mas Kernet membangunkanku kembali pukul satu. Aku harus menyiapkan sahur dengan jumlah yang jauh lebih banyak dari pada kami berdua. Aku memang sudah menyiapkan apa saja yang aku masak, agar nanti tinggal eksekusi.

Tak lama aku mulai memasak, anak-anak sudah ramai. Semua menjadi komentator sepak bola. Ada suara kecewa, ada yang tertawa. Aku bukan penyuka sepak bola, jadi aku tidak begitu perhatian dengan apa yang sedang mereka nikmati. 

Ketika sudah selesai masak, waktu masih menunjukkan jam tiga kurang. Aku meminta anak-anak mengambil makan untuk segera makan sahur. Untuk memecah perhatian mereka kepada layar yang tampak memantulkan warna hijau di wajah mereka tentu bukan hal yang mudah. Mereka masih terus berseru, aku beberapa kali mengingatkan. Ada satu seruan yang seru sekali, yang sampai membuat Noam terjaga. Meski Noam memang sering terbangun saat aku dan mas Nanda sedang sahur.

Adzan subuh terdengar, semuanya bersiap tidur sampai tengah hari. Sepi, hanya terdengar suara obrolan kecil dan gitar yang tak ramai. Tidak ada lagi tentang sepak bola. Tidak seperti di media sosial yang sampai malam ini masih ramai diperbincangkan. Kalau mau ikut meramaikan, mungkin aku akan berkomentar, sabar bulan puasa. Tapi bukan sabar sahur bareng ya.

 Aku memang tidak tahu rasanya punya club sepak bola untuk difavoritkan, mungkin karena itu aku setuju dengan suamiku tentang sepak bola. Seperti lagunya, "Cinta dan bangga memenjara. Caci maki dan arogansi. Fantisme butakan hati." 

Hari sudah larut untukku, seorang ibu yang takut begadang. Karena begadang artinya bangun saat anak tidur dan mengantuk saat Noam bangun. Aku harus segera istirahat sebelum bangun sahur. Meskipun tidak ada lagi keseruan nobar dan sabar lagi sahur nanti.