Sunday, March 3, 2019

Menahan Pipis

Waktu aku kecil, ibuku sering melarangku menahan buang air kecil, menahan pipis. Ibu bilang nanti bisa batu ginjal. Ibuku mungkin memang benar, terlalu lama dan sering menahan pipis bisa mengganggu ginjal. Tapi dalam banyak alasan aku sering menahan pipis, tentu bukan karena aku pembangkang meski aku sering memberontak dari nasehat-nasehat ibuku. Untuk yang satu ini, tidak ada urusannya dengan pemberontakan itu.

Aku bisa menahan pipis berjam-jam. Seperti saat dalam kendaraan yang tidak tersedia toilet, mau turun waktu diterminal takut tertinggal. Setelah tidak lagi sering melakukan perjalanan, padahal diam manis di rumah, alasan menahan pipis karena anak tidak bisa ditinggal. Ada yang lebih penting dari pada segera ke kamar kecil, selagi masih bisa ditahan. 

Sebenarnya ini bukan masalah pipis, sih. Ini bagaimana kita harus menahan sesuatu dari pada segera mengeluarkannya. Seperti omongan.

Pernah suatu hari saat aku masih kuliah, aku sedang kumpul dengan teman-teman di gazebo. Saat teman yang satu baru datang, temanku yang lain ada yang menyeltuk bilang kalau teman yang baru datang itu gemukan. Temanku yang baru datang langsung tersinggung, bilang kalau jangan tubuh yang dikomentari. Dia melanjutkan omelannya bahwa terlalu banyak yang sudah mengatakan itu kepadanya. Menurutku itu hal biasa yang sudah menjadi basa-basi orang Indonesia. Jika aku yang dikatakan seperti itu, mungkin aku tidak akan tersinggung meskipun badanku juga sedang lebih gemuk saat itu setelah naik sepuluh kg. Tapi memang sensitivitas orang berbeda-beda, begitu yang ku jelaskan ketika mencoba menengahi teman-temanku.

Aku juga punya sensitivitasku sendiri. Ada beberapa teman yang selalu membicarakan tentang pakaianku. "Sepatu merah, kaos kaki belang, kerudung hitam," lalu mereka tertawa. Sebenarnya aku tidak nyaman, tapi ku biarkan. Sekarang jika ada yang bilang seperti itu, aku sudah biasa saja. Aku merasa tidak perlu membongkar isi lemari untuk mencocokkan warna pakaian. Kebutuhanku hanya kenyamanan, bukan untuk pujian. Ah ini jadi bisa baper kalau diteruskan tentang sensitivitasku.

Bukan hanya korban, aku juga sering menjadi pelaku. Pelaku yang cukup sadis, begitu kata beberapa teman tentang omonganku. Jarang bicara, tapi kalau bicara sering menyakitkan. Padahal sudah banyak hal yang hanya aku omongkan dalam hati dengan diriku sendiri. Dan jika sekali keluar ada yang tersakiti, tentu tidak ada niat untuk menyakiti siappun, tidak sengaja. Sering kali karena tidak bisa menahan omongan, aku bisa menyesal, baru sadar setelahnya. Omongan kan hal yang tidak bisa dicabut setelah kita keluarkan dari mulut.

Omongan yang menyakitkan, tapi kadang lucu setelah berlalu itu omongan yang keluar dari mulut bapak dan sumiku. Mereka akan marah meledak-ledak dan sering mengeluarkan kata kasar, tapi lupa setelahnya. Mereka akan baik lagi kepada yang dimarahi, seolah-olah tidak ada apa-apa. Tapi mereka lupa kalau yang dimarahi kadang masih sakit hati. Padahal ekspresi mereka ketika marah sebenarnya tampak lucu, hanya omongannya pahitnya suka nempel.

Begitulah! Kadang pipis saja harus kita tahan, kita empet.

No comments:

Post a Comment