Sunday, March 3, 2019

Pola Pengasuhan Orangtua Vs Nenek

Seminggu lebih sudah aku menempati rumah kontrakan membawa anakku yang baru lahir. Tiga minggu yang lalu, aku melahirkan anak ke duaku di rumah orangtuaku. Aku dan suamiku pikir kami akan kesulitan jika melahirkan di rumah kontrakan tanpa ada yang bantu-bantu di rumah. Jika di rumah orangtua, akan ada yang membantu memasak, mencuci, dan menjaga anakku ketika aku masih belum pulih setelah melahirkan. Tapi justru adalah masalah lain, seperti ketika aku melhirkan anak pertama. Pola asuh kami dengan orangtuaku yang sering kali berbeda. Untuk menghindari pertengkaran yang lebih banyak, kami memutuskan tinggal dikontrakan.


Orangtuaku, ibuku khususnya tentu sudah banyak makan asam garam dalam mengasuh tiga anaknya. Tapi beberapa pemahamannya menurut kami salah. Ketika saran-sarannya tidak kami terima, orangtuaku marah. Sebenarnya orangtuaku marah karena khawatir dan sayang sekali dengan kami. Jika melibatkan hati, orangtuaku kadang sudah tidak logis, mengada-ada alasan menyalahkan pilihan kami untuk anak-anak kami. Kalau kata suamiku, orang tua itu merasa bertanggung jawab mendidik anaknya, sedangkan nenek dan kakek itu hanya menyayangi cucu-cucunya tanpa ada tanggung jawab untuk mendidik. Makanya, banyak anak yang menjadi manja ketika diasuh dengan nenek kakeknya.

Pertengkaran paling hebat saat anakku, Bing, baru lahir tiga minggu yang lalu. Bing terus menangis sepanjang malam. Sedangkan kakaknya, Noam, jadi ikut menangis ketika mendengar adiknya menangis. Aku yang memilih tandem nursing membuatku agak kesulitan mengatur Bing dan Noam menyusu bergantian karena keduanya menangis berbarengan. Orantuaku tidak tahan dengan keadaan ini. Mereka memaksaku untuk menyapih Noam yang sudah kubantu susu formula. Mereka juga memaksaku memberikan susu formula kepada Bing karena takut tidak kenyang dengan ASIku yang diminumkan ke Noam juga. 

"Kalau diberika susu, aku belikan!" Ibuku marah.

Aku diam, yang artinya juga marah, sambil menggendong Bing yang terus menangis dan sesekali menyusuinya mencoba menenangkan Bing. Noam bersama suamiku yang juga tidak luput dari kemarahan orangtuaku. Suamiku yang tegas, bisa menolak permintaan orangtuaku untuk menyapih Noam dan memberikan susu formula kepada Bing.

"Itu lo tak kasih uang kalau mau beli susu formula." Bapakku suaranya meninggi.

Aku masih diam. Malas menjelaskan bahwa ini bukan soal uang. Jika aku menjawab, akan panjang. Dan tentu saja aku akan mengeluarkan kata-kata yang lebih kasar. Tentu aku tidak ingin menyakiti orangtuaku yang sudah memberi banyak kebaikan daripada marahnya. Karena marahnyapun meskipun membuat kami babak belur, sebenarnya karena kekhawatiran mereka kepada orang yang mereka sayangi.

"Aku ini kasihan sama yang kecil, dia cuma minum susumu. Noam kan sudah makan dan sudah kamu bantu susu formula. Aku juga kasihan ke kamu, nyusui dua anak apa tidak capek." Kata ibuku yang membuktikan rasa sayangnya.

Sebenarnya banyak lagi hal-hal yang tidak sepaham dengan ibuku. Seperti ketidaksetujuan nama anak-anakku dan panggilan bopo dan biyung kepada kami yang katanya membuat malu anak-anakku saat besar. Suamiku yang tidak setuju ketika orangtuaku menakut-nakuti anakku dan dianggap lucu, suamiku bilang itu bisa membuat anak jadi penakut. Lalu ketika ibuku bilang anakku yang menangis tandanya lapar harus disuapi seperti orang jaman dulu. Juga tentang air susuku yang rasanya tidak enak atau anakku minum darah ketika aku menyusui saat hamil dulu. Ibuku juga bilang kalau air susu ibu hamil itu racun kalau tetap diminumkan. Padahal aku sudah menjelaskan kalau aku dan suamiku sudah konsultasi ke banyak bidan dan dokter, dan banyak dari mereka bilang kalau tidak apa-apa asal aku tidak mengalami kontraksi. Aku memang akhirnya memberikan susu formula kepada anakku yang pertama tapi karena produksi air susuku tidak memenuhi kebutuhan anakku, tapi dia tetap ASI juga. Dan banyak lagi perbedaan kami.

Setelah beberapa hari suasana sudah tenang, kami dan orangtuaku sudah tidak ada lagi pembahasan tentang susu formula karena ibuku tahu sendiri ASIku lancar sekali. Akhirnya aku dan suamiku pamit untuk pindah ke kontrakan. Ini sebenarnya menimbulkan kontra lagi. Ada kepercayaan bahwa anak harus berusia selapan, sebulan kalender Jawa, baru boleh keluar rumah. Kami meyakinkan kepada mereka bahwa kami akan baik-baik saja. 

Ibuku mengkhawatirkan keadaanku yang pasti kerepotan mengurus dua anak yang masih kecil, yang tidak bisa ditinggal keduanya. Belum lagi urusan mencuci, memasak, dan pekerjaan rumah lainnya. Apalagi ketika suamiku harus pergi-pergi. Bagaimana jika cucu-cucunya rewel. Seperti biasanya, seperti kebiasaan memaksaku, keras kepalaku sejak masih kecil, aku meyakinkan ibuku lagi bahwa kami akan baik-baik saja. Dan jika aku membutuhkannya, aku akan segera menghubunginya.

Akhirnya kami diantar ke rumah kontrakan dan memastikan kami aman. Saat kami sudah jauh, ibuku akan sering menelfon. Dia menanyakan apa cucu-cucunya tidak rewel atau aku memasak apa hari ini. Aku tahu jauh artinya membuat mereka khawatir. Dengan jahatnya aku bilang kesuamiku bahwa ibu telfon karena khawatir, "lebih baik aku dikhawatirkan sih, dari pada dimarahi terus soal anak-anak." 

No comments:

Post a Comment