Monday, March 11, 2019

Mengajar Itu Sulit, Tapi Menyenangkan

“Dulu aku ingin menjadi penulis seperti kalian. Tapi setiap berdoa, aku selalu berdoa agar menjadi orang yang bermanfaat. Sampai setiap aku menulis, aku juga memikirkan apakah tulisanku ini bermanfaat. Lalu setelah lulus kuliah, kak Butet, salah satu pendiri Sokola memintaku membantu Sokola Kaki Gunung. Aku langsung mengiyakannya tanpa pikir panjang. Mungkin itu jalan dari doaku.” Jawabku saat volunteer Sokola Kaki Gunung (SKG) diundang di diskusi mahasiswa pers di salah satu universitas di Jember, dan ada peserta diskusi yang bertanya kepada kami, apa motivasi kami mengajar.
 

Ketika aku mau menjawab pertanyaan itu, aku berpikir keras bagaimana menjelaskan motivasiku mengajar. Bagaimana aku bisa mudah menjelaskan kepada mereka, padahal di dalam kepalaku berputar-putar cerita sampai akhirnya aku mengajar. Akhirnya jawaban sesingkat itu yang terangkai. Padahal aku ingin menjelaskan bahwa dulu tidak pernah terbesit cita-cita untuk menjadi guru. Bayanganku guru adalah yang mengajar di sekolah-sekolah formal. Bahkan ketika ibuku memintaku untuk menjadi guru saja di sekolah dekat rumah jika aku sudah lulus kuliah, aku menolaknya. Selain gambaran guru-guru disekolah, aku merasa tidak mempunyai bakat mengajari anak-anak. Aku tidak tahu caranya mengajar.

Sebelum kak Butet datang dan memintaku mengajar, aku sudah sering ikut mas Nanda, volunteer Sokola, suamiku sekarang, ke Sokola Kaki Gunung. Awalnya hanya main sama anak-anak yang belajar dan melihat mereka belajar bersama guru volunteer SKG. Karena murid SKG terlalu banyak, aku yang hanya ingin lihat anak-anak belajar menjadi kebagian beberapa anak untuk belajar bersamaku.

“Aku harus mengajari mereka apa?” Kataku berbisik dari jauh kepada salahsatu guru. Aku benar-benar tidak tahu cara mengajar. Pertanyaanku itu jujur, aku juga tidak tahu mengajari mereka apa saat itu.



Mengajar dan Belajar

“Ketika kita mengajar, sesungguhnya kita juga belajar.” Pernyataan itu pasti sudah sering kalian dengar, tapi itu memang benar. Entah kita belajar lagi hal yang akan kita ajarkan atau kita juga belajar banyak hal yang tidak kita tahu dari anak-anak.

Saat benar-benar mengajar intens bersama anak-anak dan orang-orang Sumber Candik, Desa Panduman, Kecamatan Jelbuk, Jember, tempat Sokola Kaki Gunung, aku tahu betapa sulitnya menjadi pengajar.

Ketika aku belajar bersama anak-anak yang baru mengenal huruf, aku harus melihat bagaimana cara mereka belajar. Melihat kelebihan dan terbatasnya mereka dimana.

Tak tao’ engkok, Mbak!” (Tidak tahu saya, Mbak!) Kata Wahyu, salah satu anak yang belajar bersamaku, anak yang mempunyai kesulitas motorik, sehingga dia kesulitan menulis menirukan huruf-huruf. Ini membuatnya lama belajar. Dan Wahyu selalu mengatakan tidak tahu setiap akan menulis.

Aku mengadu pada suamiku, dengan tangisan. Mungkin aku yang tidak bisa mengajari Wahyu sehingga dia tidak segera bisa membaca dan menulis. Lalu kami belajar tentang Wahyu. Kami memperhatikan Wahyu yang suka sekali bercerita, bahasanya sangat tertata. Terlihat ketika Wahyu bicara dengan teman-temannya, atau bercerita dengan kami. Setelah itu, kami mengajari Wahyu mengenal huruf tanpa menulis dulu. Belajar menulisnya setelah Wahyu mengenal huruf dan membaca.

Beda lagi dengan Liyo yang dulu tidak pernah ikut belajar ketika tempat belajar kami di mushola. Liyo yang baru belajar ketika tempat belajar pindah dekat rumahnya, ternyata tidak begitu suka belajar rame-rame. Dia lebih senang belajar sendiri, datang sendiri ketika teman-temannya belum datang atau ketika kami ke rumahnya. 

Ada juga anak-anak pemalu. Aku yang merasa pemalu, menjadi tahu betapa anak-anak pemalu sulit  untuk diajari. Aku selalu mengadu kepada suamiku. Suamiku memintaku agar menulis semuanya dipapan tulis, jangan suruh mereka membaca dulu. Suruh mereka menulis dulu di buku mereka. Baru setelah itu suruh mereka baca bersama.

Aku kembali mengadu dengan menangis. Aku bilang kepada suamiku bahwa Abi tidak memperhatikanku. Aku tidak berhasil mendapat perhatian Abi. Abi hanya memperhatikanku beberapa menit, lalu tidak lagi konsentrasi. Aku pasti sudah mengajar dengan sangat tidak menarik. Lalu suamiku bilang, Abi memang masih sangat kecil, belum usia sekolah. Aku menghapus air mataku.

Dan macam-macam anak lainnya yang memiliki kebutuhan berbeda lagi.

Ketika aku mengajar, artinya aku belajar memahami cara setiap anak belajar, belajar lagi tentang materi yang akan diajarkan, belajar bahasa Madura dari anak-anak, belajar resep masakan ibu-ibu, dan hal baru lainnya di seitar Sokola Kaki Gunung. Kesulitan-kesulitan ketika mengajar yang menuntunku banyak belajar.



Mengajar Itu Menyenangkan

Selain kesulian-kesuitan yang harus ku pecahkan ketika mengajar, banyak sekali hal menyenangkan ketika mengajar di Sokola Kaki Gunung. Kesulitan yang terpecahkan itu candu, begitupun kesenangan mengajar.

Mengetahui perkembangan setiap anak itu sebuah kesenangan, kesenangan yang membuatku menikmati mengajar. Sampai mana anak yang ini atau yang  itu belajar, lalu memikirkan besok harus belajar apa dengan mereka.

Selain untuk belajar, biasanya anak-anak akan pergi ke tempat kami untuk bermain. Anak-anak sering mengajak kami ke air terjun, ke kebun orangtua mereka, mencari sayur atau buah yang tumbuh di kebun dan di sekitar rumah, atau sekedar masak-masakan di rumah guru.

Sungguh banyak sekali kesenangan mengajar di Sokola Kaki Gunung. Dan bagaiamana dadaku rasanya tidak dipenuhi kupu-kupu ketika Sri selalu mengatakan kepada teman-temannya jika dia bisa membaca lancar setelah belajar denganku.

Ketika mengajar ingin bermanfaat, aku justru mendapat banyak sekali manfaat. Seperti ingin mengajar dan justru belajar banyak. Lalu ini bukan lagi tentang ingin bermanfaat, mengetahui perkembangan anak-anak, memikirkan dan menyiapkan akan belajar apa kami besok, dan memecahkan kesulitan-kesulitan mengajar, itu semua menjadi candu, membuat ingin terus mengajar.

No comments:

Post a Comment