“Dulu aku ingin
menjadi penulis seperti kalian. Tapi setiap berdoa, aku selalu berdoa agar
menjadi orang yang bermanfaat. Sampai setiap aku menulis, aku juga memikirkan
apakah tulisanku ini bermanfaat. Lalu setelah lulus kuliah, kak Butet, salah
satu pendiri Sokola memintaku membantu Sokola Kaki Gunung. Aku langsung
mengiyakannya tanpa pikir panjang. Mungkin itu jalan dari doaku.” Jawabku saat
volunteer Sokola Kaki Gunung (SKG) diundang di diskusi mahasiswa pers di salah
satu universitas di Jember, dan ada peserta diskusi yang bertanya kepada kami,
apa motivasi kami mengajar.
Ketika aku mau
menjawab pertanyaan itu, aku berpikir keras bagaimana menjelaskan motivasiku
mengajar. Bagaimana aku bisa mudah menjelaskan kepada mereka, padahal di dalam
kepalaku berputar-putar cerita sampai akhirnya aku mengajar. Akhirnya jawaban
sesingkat itu yang terangkai. Padahal aku ingin menjelaskan bahwa dulu tidak
pernah terbesit cita-cita untuk menjadi guru. Bayanganku guru adalah yang
mengajar di sekolah-sekolah formal. Bahkan ketika ibuku memintaku untuk menjadi guru
saja di sekolah dekat rumah jika aku sudah lulus kuliah, aku menolaknya. Selain
gambaran guru-guru disekolah, aku merasa tidak mempunyai bakat mengajari
anak-anak. Aku tidak tahu caranya mengajar.
Sebelum kak Butet
datang dan memintaku mengajar, aku sudah sering ikut mas Nanda, volunteer
Sokola, suamiku sekarang, ke Sokola Kaki Gunung. Awalnya hanya main sama
anak-anak yang belajar dan melihat mereka belajar bersama guru volunteer SKG.
Karena murid SKG terlalu banyak, aku yang hanya ingin lihat anak-anak belajar
menjadi kebagian beberapa anak untuk belajar bersamaku.
“Aku harus mengajari
mereka apa?” Kataku berbisik dari jauh kepada salahsatu guru. Aku benar-benar
tidak tahu cara mengajar. Pertanyaanku itu jujur, aku juga tidak tahu mengajari
mereka apa saat itu.
Mengajar dan Belajar
“Ketika kita mengajar, sesungguhnya kita juga belajar.” Pernyataan itu pasti sudah sering kalian dengar, tapi itu memang benar. Entah kita belajar lagi hal yang akan kita ajarkan atau kita juga belajar banyak hal yang tidak kita tahu dari anak-anak.
Saat benar-benar
mengajar intens bersama anak-anak dan orang-orang Sumber Candik, Desa Panduman,
Kecamatan Jelbuk, Jember, tempat Sokola Kaki Gunung, aku tahu betapa sulitnya menjadi
pengajar.
Ketika aku belajar
bersama anak-anak yang baru mengenal huruf, aku harus melihat bagaimana cara
mereka belajar. Melihat kelebihan dan terbatasnya mereka dimana.
“Tak tao’ engkok, Mbak!” (Tidak tahu saya, Mbak!) Kata Wahyu, salah
satu anak yang belajar bersamaku, anak yang mempunyai kesulitas motorik,
sehingga dia kesulitan menulis menirukan huruf-huruf. Ini membuatnya lama
belajar. Dan Wahyu selalu mengatakan tidak tahu setiap akan menulis.
Aku mengadu pada
suamiku, dengan tangisan. Mungkin aku yang tidak bisa mengajari Wahyu sehingga
dia tidak segera bisa membaca dan menulis. Lalu kami belajar tentang Wahyu.
Kami memperhatikan Wahyu yang suka sekali bercerita, bahasanya sangat tertata.
Terlihat ketika Wahyu bicara dengan teman-temannya, atau bercerita dengan kami.
Setelah itu, kami mengajari Wahyu mengenal huruf tanpa menulis dulu. Belajar
menulisnya setelah Wahyu mengenal huruf dan membaca.
Beda lagi dengan Liyo
yang dulu tidak pernah ikut belajar ketika tempat belajar kami di mushola. Liyo
yang baru belajar ketika tempat belajar pindah dekat rumahnya, ternyata tidak
begitu suka belajar rame-rame. Dia lebih senang belajar sendiri, datang sendiri
ketika teman-temannya belum datang atau ketika kami ke rumahnya.
Ada juga anak-anak
pemalu. Aku yang merasa pemalu, menjadi tahu betapa anak-anak pemalu sulit untuk diajari. Aku selalu mengadu kepada
suamiku. Suamiku memintaku agar menulis semuanya dipapan tulis, jangan suruh
mereka membaca dulu. Suruh mereka menulis dulu di buku mereka. Baru setelah itu
suruh mereka baca bersama.
Aku kembali mengadu
dengan menangis. Aku bilang kepada suamiku bahwa Abi tidak memperhatikanku. Aku
tidak berhasil mendapat perhatian Abi. Abi hanya memperhatikanku beberapa
menit, lalu tidak lagi konsentrasi. Aku pasti sudah mengajar dengan sangat tidak menarik. Lalu suamiku bilang, Abi memang masih sangat kecil, belum usia
sekolah. Aku menghapus air mataku.
Dan macam-macam anak
lainnya yang memiliki kebutuhan berbeda lagi.
Ketika aku mengajar,
artinya aku belajar memahami cara setiap anak belajar, belajar
lagi tentang materi yang akan diajarkan, belajar bahasa Madura dari anak-anak,
belajar resep masakan ibu-ibu, dan hal baru lainnya di seitar Sokola Kaki
Gunung. Kesulitan-kesulitan ketika mengajar yang menuntunku banyak belajar.
Mengajar Itu
Menyenangkan
Selain
kesulian-kesuitan yang harus ku pecahkan ketika mengajar, banyak sekali hal
menyenangkan ketika mengajar di Sokola Kaki Gunung. Kesulitan yang terpecahkan
itu candu, begitupun kesenangan mengajar.
Mengetahui
perkembangan setiap anak itu sebuah kesenangan, kesenangan yang membuatku
menikmati mengajar. Sampai mana anak yang ini atau yang itu belajar, lalu memikirkan besok harus
belajar apa dengan mereka.
Selain untuk belajar,
biasanya anak-anak akan pergi ke tempat kami untuk bermain. Anak-anak sering
mengajak kami ke air terjun, ke kebun orangtua mereka, mencari sayur atau buah
yang tumbuh di kebun dan di sekitar rumah, atau sekedar masak-masakan di rumah
guru.
Sungguh banyak sekali
kesenangan mengajar di Sokola Kaki Gunung. Dan bagaiamana dadaku rasanya tidak
dipenuhi kupu-kupu ketika Sri selalu mengatakan kepada teman-temannya jika dia
bisa membaca lancar setelah belajar denganku.
Ketika mengajar ingin
bermanfaat, aku justru mendapat banyak sekali manfaat. Seperti ingin mengajar
dan justru belajar banyak. Lalu ini bukan lagi tentang ingin bermanfaat,
mengetahui perkembangan anak-anak, memikirkan dan menyiapkan akan belajar apa
kami besok, dan memecahkan kesulitan-kesulitan mengajar, itu semua menjadi
candu, membuat ingin terus mengajar.
No comments:
Post a Comment